BAGIKAN
David Clode / Unsplash

Diantara semua jenis terapi untuk kanker, terapi fotodinamik atau Photodynamic therapy (PDT) yang menggunakan cahaya untuk menghancurkan sel-sel kanker jinak, mempunyai efek samping yang tidak biasa; pasien seringkali memiliki kemampuan untuk melihat di dalam gelap.

Kini para peneliti akhirnya mengetahui mengapa hal itu terjadi: kondisi ini disebabkan oleh rhodopsin, sejenis protein yang sensitif terhadap cahaya pada retina mata kita, yang berinteraksi dengan zat fotosensitif yang dikenal dengan nama klorin e6, sebuah komponen penting yang digunakan dalam terapi kanker jenis ini.

Interaksi ini berpengaruh pada senyawa organik retinaldehida atau retinal yang ada pada mata dan biasanya tidak sensitif terhadap cahaya infra merah.

Cahaya tampak yang memicu retinal untuk terpisah dari rhodopsin – yang merubahnya menjadi sinyal listrik di otak kita untuk menerjemahkan apa yang kita lihat. Dan ketika mata tidak mendapat cukup cahaya pada malam hari, mekanisme ini tetap terjadi, terpicu oleh kombinasi lain dari cahaya dan reaksi kimia.


Dalam cahaya infra merah dan adanya injeksi zat klorin, retinal berubah dengan cara yang sama ketika berada dalam cahaya tampak.

“Mekanisme ini menjelaskan adanya penigkatan ketajaman penglihatan pada malam hari,” kata Antonio Monari, seorang ahli kimia dari the university of Lorraine, Perancis.

“Tetapi kami belum mengetahui secara pasti bagaimana rhodopsin dan juga kelompok retinal aktif bisa berinteraksi dengan klorin. Kami baru bisa menjelaskan mekanisme ini melalui simulasi molekular.”

Dengan melakukan perhitungan-perhitungan kimia tingkat tinggi, tim peneliti menggunakan sebuah simulasi molekular untuk membuat model dari pergerakan setiap individual atom, dan juga pembentukan dan pemutusan ikatan senyawa kimia.

Simulasi ini dijalankan selama beberapa bulan – dan setelah melalui jutaan perhitungan- sebelum akhirnya dijadikan model yang akurat dari reaksi kimia yang dihasilkan oleh radiasi infra merah. Dalam kehidupan nyata, reaksi ini terjadi hanya dalam hitungan nanodetik.

“Simulasi ini menunjukkan protein rodopsin virtual yang ditempatkan diantara membran lipid melakukan kontak dengan beberapa molekul klorin e6 dan air, atau beberapa puluh ribu atom,” kata Monari.

Dalam simulasi tersebut diperlihatkan ketika klorin mengabsorbsi radiasi infra merah, senyawa ini kemudian berinteraksi dengan oksigen di dalam jaringan mata, kemudian berubah menjadi oksigen tunggal yang reaktif – selain akan menghancurkan sel-sel kanker, oksigen tunggal ini juga bereaksi dengan retinal sehingga berdampak dengan meningkatnya kemampuan penglihatan di malam hari.

Kini para ilmuwan mengetahui reaksi kimia yang menyebabkan adanya efek samping yang tidak biasa dari terapi kanker ini. Mereka kini juga mungkin mampu menghilangkan kemungkinan terjadinya reaksi ini pada pasien yang menjalani terapi fotodinamik, yang dilaporkan melihat gambaran siluet dan garis- garis di kegelapan.


Dan hasil penelitian lebih lanjut diketahui bahwa reaksi kimia ini juga bisa membantu mengobati beberapa jenis kebutaan pada mata dan juga mata yang terlalu sensitif terhadap cahaya – dan penggunaan klorin e6 sangat tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai zat yang bisa memberi anda kemampuan super penglihatan malam.

Ini adalah salah satu contoh bagaimana kita bisa memanfaatkan simulasi molekular dalam sebuah penelitian, dan bagaimana sebuah komputer yang paling hebat di planet ini bisa memberi kita pemahaman akan sains yang belum pernah kita tahu sebelumnya.

“Simulasi molekular telah digunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme-mekanisme dasar dalam sains terjadi, misalnya, mengapa perbaikan pada beberapa jenis lesi (luka) DNA lebih mudah dilakukan dari lainnya. Dan dimungkinkannya seleksi dari molekul terapetik potensial dengan meniru bagaimana mereka berinteraksi dengan target yang telah dipilih,” kata Monari.

Hasil riset ini telah dipublikasikan dalam Journal of Physical Chemistry Letters.