BAGIKAN
(NIAID/NIH/flickr)

Sebuah perusahaan asal AS, Moderna, menyatakan bahwa mereka akan memasuki tahapan akhir dari uji coba pada manusia untuk vaksin COVID-19, pada 27 Juli. Setelah sebelumnya menjanjikan akan mempublikasikan hasil trialnya dalam sebuah jurnal ilmiah ternama.

Trial tahap 3 akan melibatkan 30.000 partisipan di AS, yang setengahnya akan menerima dosis vaksin sebanyak 100 mikrogram, dan setengah lainnya menerima plasebo.

Trial ini dirancang untuk melihat apakah vaksin ini aman dan mampu mencegah terjadinya infeksi dari virus SARS-CoV-2, atau – jika memang orang-orang tetap terinfeksi – dapat mencegah berkembangnya infeksi menjadi gejala.

Dan jika timbul gejala pada orang-orang tersebut, vaksin ini tetap dianggap berhasil jika mampu mencegah terjadinya kasus parah dari COVID-19.

Trial ini harusnya telah berjalan hingga tanggal 27 Oktober, seperti yang disebutkan dalam halaman clinicaltrials.gov.

Pernyataan ini diberikan setelah New England journal of Medicine mempublikasikan hasil dari tahap pertama trial vaksin Moderna yang menunjukkan pada 45 orang partisipan pertama memiliki antibodi terhadap virus corona.

Moderna, saat ini telah berada pada tahap kedua, dan berada pada posisi terdepan kompetisi global dalam menemukan vaksin untuk melawan virus corona baru, yang telah menginfeksi lebih dari 13,2 juta orang dan membunuh lebih dari 500 ribu orang di seluruh dunia.

Vaksin SinoVac dari China dikabarkan juga telah mencapai trial klinis tahap ke-2.

Kantor berita Rusia TASS pada hari minggu mengumumkan bahwa para peneliti Rusia telah berhasil menyelesaikan semua tahapan trial klinis dari vaksin, walaupun hingga kini mereka belum membagikan data hasil trial mereka.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa vaksin pertama yang masuk ke pasaran mungkin saja bukan vaksin yang paling efektif dan aman.

Moderna juga sebelumnya telah mempublikasikan hasil interim dari tahap pertama trial klinis mereka, diberi nama “fase 1”, dalam sebuah press rilis di situs web mereka pada bulan Mei.

Dari hasil trial klinis tersebut terungkap bahwa vaksin ini menghasilkan respon imun pada delapan pasien, hasil yang disebut dengan “menggugah” oleh Anthony Fauci, direktur institute nasional untuk penyakit-penyakit alergi dan infeksi AS, yang juga ikut membantu pengembangan vaksin ini.

Menurut laporan ilmiah terbarunya, 45 partisipan dibagi menjadi 3 grup yang terdiri dari 15 orang yang setiap orang diberikan dosis 25 mikrogram, 100 mikrogram dan 250 mikrogram.

Kemudian mereka diberikan dosis yang sama untuk kedua kalinya setelah 28 hari.

Setelah tahap pertama pemberian vaksin, jumlah zat antibodi tertinggi yang ada di dalam tubuh partisipan adalah setelah diberikan dosis tertinggi. 

Dan dalam tahap kedua trial, partisipan memiliki antibodi yang lebih tinggi dari para pasien dengan COVID-19 yang mengembangkan antibodi secara alami di dalam tubuh mereka.

Lebih dari setengah partisipan mengalami efek samping ringan dan sedang dari pemberian vaksin, dan hal itu dianggap normal.

Efek samping yang dirasakan para partisipan antara lain: letih, menggigil, sakit kepala, rasa sakit di beberapa bagian tubuh, dan nyeri pada titik injeksi.

Tiga orang partisipan tidak menerima dosis kedua.

Termasuk dari tiga orang tersebut satu orang yang mengalami ruam kulit pada kedua kakinya, dan dua orang tidak menerima dosis kedua karena mereka mengalami gejala-gejala COVID-19, tetapi hasil tes mereka ternyata negatif.

“Hasil trial ini terlihat cukup baik dan cukup konsisten,” David Lo, professor ilmu biomedis dari University of California Riverside.

Tetapi masih perlu dilakukan evaluasi lanjutan mengenai keamanan vaksin tersebut, termasuk untuk memastikan vaksin ini tidak membuat sistem imun tubuh menjadi toleran terhadap virus sebenarnya.

Vaksin Moderna adalah vaksin jenis baru yang menggunakan material genetik – dalam bentuk RNA- untuk menerjemahkan informasi yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ujung protein (spike) virus di dalam tubuh manusia, yang akan memancing respon imun.

Ujung protein (spike) adalah bagian dari virus yang berfungsi sebagai reseptor untuk mengikatkan dirinya ketika menginfeksi sel manusia, tetapi kandungan protein dari reseptor ini relatif tidak berbahaya bagi manusia.

Keunggulan dari teknologi ini adalah dapat melewati tahapan pembuatan protein viral di lab, menghemat waktu hingga beberapa bulan dalam tahapan standarisasi menuju tahap produksi massal.