BAGIKAN
[Pixabay]

Para ilmuwan yang tergabung dalam satu tim peneliti belum lama ini berhasil mengindentifikasi hubungan antara tingginya kadar hormon estrogen di dalam rahim dengan kemungkinan janin akan terlahir dalam kondisi autis. Penemuan ini dipublikasikan dalam jurnal Molecular Psychiatry.

Penemuan ini menambah bukti yang mendukung teori “sex steroid’ prenatal sebagai penyebab autisme yang diajukan 20 tahun yang lalu.

Pada tahun 2015, sebuah tim ilmuwan dari University of Cambridge dan the State Serum Institute di Denmark mengukur kadar empat hormon steroid prenatal, dimana dua diantaranya adalah hormon androgen, yang berada di dalam cairan amnion (ketuban) di dalam rahim dan menemukan bahwa pada janin laki-laki dengan kadar hormon androgen yang tinggi, janin tersebut akan terlahir dalam kondisi autis. Secara rata-rata, hormon androgen ini diproduksi dalam jumlah yang lebih tinggi pada janin laki-laki dibandingkan perempuan. Ini juga menjelaskan mengapa kondisi autisme lebih sering diderita anak laki-laki. Hormon androgen dikenal sebagai hormon maskulinitas di dalam otak, dan memiliki pengaruh atas jumlah koneksi antar sel-sel otak.

Dan saat ini, kembali tim ilmuwan yang sama mengembangkan hasil penemuan mereka dengan mengujicobakan sampel cairan amnion dari 98 individual yang sama dari the Danish Biobank, yang telah mengumpulkan sampel cairan amnion yang berasal dari 100.000 kehamilan, tetapi kali ini mereka mengamati hormon sex steroid prenatal yang disebut estrogen. Langkah ini dianggap sangat penting karena hormon-hormon lainnya yang sebelum ini diteliti ternyata langsung berubah menjadi hormon estrogen.

Dari hasil penelitian ini, mereka menemukan bahwa secara rata-rata, jumlah keempat hormon estrogen akan bertambah secara signifikan pada 98 janin yang kemudian terlahir dalam kondisi autis, dibandingkan dengan 177 janin yang tidak terkena autis. Janin yang memiliki kadar estrogen tinggi memilki kemungkinan terkena autis lebih tinggi dibandingkan dengan janin yang memilki kadar hormon androgen prenatal (misalnya testosterone) yang tinggi. Berlawanan dengan yang selama ini diyakini bahwa hormon estrogen selalu diasosiasikan dengan feminitas, hormon estrogen juga mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan otak dan juga maskulinitas di otak pada beberapa jenis mamalia.

Professor Simon Baron-Cohen, pimpinan pusat riset autism di University of Cambridge, dan juga pimpinan penelitian ini, mengatakan: “Penemuan baru ini mendukung teori bahwa meningkatnya kadar hormon sex steroid prenatal adalah salah satu penyebab potensial dari kondisi autisme. Faktor genetik juga bisa menjadi penyebab, dan hormon ini sepertinya berinteraksi dengan faktor genetik untuk mempengaruhi pertumbuhan otak janin.”

Alex Tsompanidis, yang mengambil bagian dalam tim peneliti ini mengatakan: “Meningkatnya kadar hormon bisa jadi berasal dari ibu, bayi atau plasenta. Dan langkah kami selanjutnya adalah meneliti semua kemungkinan sumber hormon ini dan menyelidiki bagaimana hormon-hormon ini saling berinteraksi selama kehamilan.”

Dr. Alexa Pohl, bagian dari tim Cambridge, mengatakan: “Kami sangat antusias atas hasil penemuan ini karena selama ini peran dari hormon estrogen jarang sekali dipelajari, dan kami berharap bahwa kami bisa mempelajari lebih dalam tentang kontribusi hormon tersebut dalam pertumbuhan otak janin pada eksperimen lanjutan kami. Kami masih harus melihat apakah hasil yang sama akan didapat pada anak perempuan dengan kondisi autisme.”

Tim peneliti juga memberi peringatan bahwa penemuan mereka tidak boleh dipakai untuk meng-skrining (memilah) janin agar tidak terlahir dengan kondisi autisme. “Penelitian kami bertujuan untuk memahamai autisme, bukan untuk mencegahnya,” Prof, Baron-Cohen menambahkan.

Dr. Arieh Cohen, seorang ahli biokimia yang merupakan bagian dari tim Copenhagen mengatakan: “Sangatlah mengagumkan, bagaimana data sampel biobank 40 tahun lalu masih berguna bagi penelitian ilmiah saat ini, hal ini tidak  pernah diduga sebelumnya, dan melalui kolaborasi ilmuwan antar negara semuanya bisa diwujudkan.”