BAGIKAN
Credit: Guillaume Flandre/ Unsplash

Sejak pertama kali berjalan tegak, sekitar empat hingga enam juta tahun yang lalu, manusia terus berevolusi dengan bentuk fisik yang menunjang aktivitas berjalan kaki dan berlari jarak jauh. Dengan bentuk kaki yang melengkung, tendon achilles yang panjang, dan kemampuan tubuh untuk mengatasi panas dengan mengeluarkan keringat. Dan sejarah manusia mencatat, hampir seluruh perjalanan jarak jauh yang dilakukan pada masa lalu dilakukan tanpa alas kaki.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, diperkirakan alas kaki mulai muncul sekitar 30.000 tahun yang lalu. Tetapi baru sekitar seratus tahun yang lalu alas kaki modern mulai menghiasi kaki dan menjadi penentu bentuk kaki ideal bagi manusia. Dan sejak tahun 1970an, sepatu lari yang nyaman selalu identik dengan kegiatan olahraga.

Tetapi dari bukti-bukti yang terus berkembang saat ini, terungkap bahwa penggunaan sepatu lari untuk berolahraga dianggap lebih banyak memberi pengaruh buruk dibandingkan manfaatnya. Hasil review yang dilakukan belum lama ini menunjukkan bahwa penggunaan sepatu untuk berlari akan merubah cara kita berlari dan juga melemahkan kaki, karena menyebabkan berbagai macam kecelakaan ketika berolahraga.



Dan sebelumnya, tim peneliti mengungkapkan bahwa kita tidak perlu memakai alas kaki apapun ketika berlari, terutama jika kita telah mulai berlari sejak usia muda. Tim menemukan, di New Zealand, anak-anak berusia 12 hingga 19 tahun terbiasa melakukan aktivitas olahraga lari cepat dan pertandingan lari jarak menengah tanpa alas kaki. Tim juga menemukan prevalensi rasa sakit pada bagian tubuh bagian bawah (lutut, pergelangan kaki dan telapak kaki) secara relatif cukup rendah dibandingkan dengan anak-anak dengan usia yang sama dari negara-negara lainnya. Penelitian lainnya juga menunjukkan adanya perbedaan pada struktur dan fungsi kaki pada populasi tanpa alas kaki dan pengguna sepatu.

Penemuan ini mendorong para peneliti untuk melakukan review secara global tentang cedera akibat aktivitas olahraga lari pada pria dan wanita. Mereka menemukan bahwa sekitar 35 hingga 50 persen pelari pernah setidaknya pernah satu kali cedera. Dan angka- angka ini dianggap cukup tinggi untuk sebuah spesies yang telah beradaptasi untuk bisa berlari jarak jauh.

Dan umumnya cedera terjadi pada bagian lutut, tulang kering, pergelangan kaki dan telapak kaki. Dan hampir semua dari cedera tersebut terjadi pada tulang atau jaringan ikat, yang fungsi utamanya adalah untuk membantu mentransmisikan tenaga pada otot sehingga kaki bisa bergerak maju.

Posisi berlari tanpa alas kaki yang tepat. (Peter Francis)

Hasil review terbaru mengeksplorasi bagaimana manusia berlari sebelum mulai menggunakan sepatu dan bagaimana sepatu merubah cara kita berlari. Tim menemukan bahwa ketika kaki menyentuh permukaan lintasan lari. Kulit, ligamen, tendon dan saraf pada kaki mengirimkan begitu banyak informasi ke otak dan syaraf tulang belakang tentang bagaimana posisi yang tepat dari kaki kita, termasuk juga tegangan, peregangan dan tekanan. Dari informasi yang disampaikan, otak mengatur pergerakan otot sehingga bisa mengontrol pergerakkan sendi kita untuk selalu pada posisi yang bisa menyerap hentakan dan mencegah cedera.

Sepatu lari pertama kali diproduksi dan dipasarkan secara massal pada tahun 1970an, sepatu ini dianggap mampu mencegah cedera pada kaki. Dan yang mengejutkan, narasi ini bahkan bisa ditemukan pada literatur-literatur ilmiah.

Pada tahun 1980an, terciptalah sepatu lari yang dianggap lebih baik dan berdasarkan penelitian mampu mengurangi cedera pada achilles tendinopathy (tendon besar di belakang pergelangan kaki yang menghubungkan otot betis dan pergelangan kaki). Tetapi hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa desain sepatu tersebut justru menjadi satu faktor resiko terjadinya cedera pada kaki.



Hasil review tim peneliti juga menemukan bahwa sepatu lari menghambat informasi yang dikirim ke otak dan syaraf tulang belakang. Sepatu membuat posisi badan pelari menjadi lebih tegak ketika telapak kaki menyentuh permukaan lintasan dan kaki memanjang ke depan, menghasilkan energi besar yang menahan laju pelari tersebut. Mekanisme berlari seperti ini seringkali menyebabkan terjadinya cedera ketika berlari.

Pemakaian sepatu dalam jangka waktu lama juga bisa memperlemah kekuatan kaki kita. Ketika kita mulai melakukan aktivitas berlari dengan menggunakan sepatu, kaki kita tidak bisa beradaptasi dengan mekanisme ini.

Sebuah penelitian menemukan bahwa ukuran dan kekuatan otot kaki akan kembali pulih setelah melakukan aktivitas jalan selama delapan bulan dengan sepatu minimalis.

Sepatu menyebabkan mekanisme berlari menjadi kurang efektif, bahkan menyebabkan cedera. (Peter Francis)

Walaupun penggunaan sepatu minimalis tidak sama dengan tanpa alas kaki sama sekali, mekanisme berlari dan berjalan dengan jenis sepatu ini mirip dengan tanpa alas kaki, dan sangat jauh berbeda dengan memakai sepatu lari.

Cedera akibat berlari bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti usia, cedera yang terjadi sebelumnya, index massa tubuh, dan perubahan volume latihan, jadi desain sepatu bukanlah satu-satunya faktor. 

Dan nampaknya faktor-faktor tersebut mungkin membuat manusia tidak lagi mengkondisikan aktivitas berlari seperti yang pernah dilakukan jutaan tahun yang lalu. Dengan lebih aktif bergerak, lebih sering melakukan aktivitas berlari dan berjalan tanpa alas kaki, mungkin bisa mencegah terjadinya cedera di masa datang.


, The Conversation