Sebuah uji klinis yang hasilnya telah dipublikasikan oleh Gilead Sciences Inc menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang mendapatkan obat antivirus remdesivir, 30 persen dilaporkan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo. Para ilmuwan terkemuka AS menyatakan bahwa obat ini sangat ampuh bagi COVID-19.
Walau hingga kini belum secara resmi dinyatakan sebagai penyembuh penyakit yang telah menginfeksi lebih dari 200.000 orang diseluruh dunia dan telah melemahkan ekonomi global, bisa dikatakan bahwa obat ini adalah yang pertama menghasilkan kemajuan yang signifikan terhadap para pasien COVID-19.
National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) AS yang mengawasi jalannya uji klinis dari obat buatan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Gilead Sciences Inc, menyatakan bahwa obat ini 31 persen lebih cepat memulihkan pasien yang telah mendapatkannya, dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan plasebo (obat kosong tanpa zat aktif).
“Secara spesifik, waktu rata-rata pemulihan adalah 11 hari bagi setiap pasien yang mendapatkan remdesivir, dan rata-rata 15 hari untuk pasien yang menerima plasebo,”
Anthony Fauci, direktur NIAID menyatakan pada para wartawan di Gedung Putih: “Berdasarkan data yang kami miliki, remdesivir memberikan efek yang positif, signifikan dan nyata dalam mempersingkat waktu pemulihan pada pasien.”
Dia menambahkan: “Walaupun angka 31 persen terlihat kurang optimal, tetapi hasil ini cukup bisa membuktikan bahwa obat ini bisa digunakan untuk melawan virus .”
Dari hasil trial klinis ini juga menunjukkan bahwa walaupun perbedaannya cukup kecil, tetapi obat ini efektif mengurangi resiko kematian pada para pasien dengan COVID-19. Dengan tingkat kematian 8,0 persen pada kelompok pasien yang menerima remdesivirdan 11,6 persen pada kelompok pasien yang menerima plasebo.
Trial klinis dimulai pada tanggal 21 Februari dan melibatkan 1.063 orang yang berasal dari 68 lokasi di Eropa dan Asia.
Pasien pertama dalam tria klinis ini adalah seorang warga negara Amerika yang dipulangkan setelah menjalani karantina di kapal pesiar Diamond Princess yang kemudian menjalani perawatan di Nebraska Medical Center.
Peter Horby, seorang epidemiolog dari University of Oxford yang tidak terlibat dalam studi ini mengatakan: “Kita perlu melihat hasil keseluruhan dari trial ini, tetapi jika memang telah terkonfirmasi maka akan menjadi berita besar dalam usaha kita melawan COVID-19.
Scott Gottlieb, seorang mantan komisioner badan pengawas makanan dan obat AS (FDA), menuliskan pada Twitter: “Sekarang sudah cukup data yang dibutuhkan untuk mepertimbangkan penggunaan obat ini dengan otorisasi kondisi darurat.”
Artinya, dokter akan diizinkan untuk meresepkan obat ini diluar konteks trial klinis.
Remdesivir, sebelumnya pernah gagal dalam trial klinis untuk penyakit Ebola, merupakan jenis obat yang bekerja langsung pada virus, berbeda dengan jenis antiviral lainnya yang bekerja dengan mengontrol jumlah virus di tubuh penderita yang bisa memicu respon autoimun yang bisa membahayakan pasien.
Obat ini bekerja dengan meniru empat blok pembangun RNA dan DNA virus, sehingga bisa terserap langsung kedalam genome virus, dan kemudian akan menghentikan proses replikasi virus.
Stephen Evans, pakar statistik medis dari London School of Hygiene & tropical Medicine mengatakan bahwa hasil trial klinis ini adalah bukti nyata keampuhan remdesivir, walaupun menurutnya hasil ini tidak begitu dramatis.
“Data trial klinis ini cukup menjanjikan, dimana hingga kini belum ada satupun pengobatan yang terbukti efektif untuk COVID-19, mungkin berdasarkan hasil ini persetujuan untuk pemakaian remdesivir untuk penyakit ini bisa dipercepat,” kata Babak Javid, peneliti utama di Tsinghua University of Medicine di Beijing.
Sementara itu telah beredar pula kabar yang berbeda tentang obat antiviral intravena tersebut dalam minggu terakhir ini.
Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada situs WHO minggu lalu menunjukkan bahwa obat ini gagal dalam trial klinis kecil yang dilakukan di China. Penelitian yang laporannya telah dipublikasikan dalam The Lancet, melibatkan 237 pasien di Wuhan, China. Pada trial ini, dokter tidak menemukan adanya efek positif dari obat ini dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari pasien dewasa, kecuali pada pasien-pasien yang membutuhkan ventilator.
Tetapi trial yang dilakukan di China ini berlangsung dalam waktu singkat karena para peneliti kesulitan mendapatkan relawan dalam jumlah besar untuk trial ini. Dan para pakar berpendapat bahwa hasil trial ini terlalu kecil untuk bisa diambil kesimpulan dari hasilnya.
Berbeda dengan remdesivir, obat anti malaria hydroxychloroquine dan chloroquine juga telah digunakan secara luas untuk melawan COVID-19 walaupun belum mendapat persetujuan dari WHO dan masih harus dilakukan trial klinis besar untuk menguji keampuhan obat ini untuk melawan COVID-19.
Beberapa terapi pengobatan lainnya juga masih dalam tahap penelitian, seperti dengan mengambil zat antibodi dari penyintas panyakit COVID-19 dan menginjeksikannya pada para pasien, atau mengambil zat antibodi yang telah dimodifikasi secara genetis dari tikus yang sebelumnya dimasukkan virus corona baru ke dalam tubuhnya.