Para peneliti telah menunjukkan bagaimana keunikan susunan genetik dari sekelompok katak Australia yang dapat menjadi salah satu kunci untuk kelangsungan hidupnya, memungkinkannya untuk bertahan hidup pada kondisi iklim yang ekstrem. Studi ini juga menemukan keragaman genetik yang lebih tinggi pada spesies dengan set kromosom tambahan.
Pemanasan global yang terjadi pada dalam beberapa dekade terakhir ini memicu peningkatan temperatur bumi dan mengancam kehidupan banyak spesies hewan, termasuk juga pada berbagai spesies katak.
Sejenis katak yang hidup di wilayah Australia yang disebut sebagai katak penggali (burrowing frog), mampu bertahan hidup dari musim kering berpanjangan dengan menguburkan diri mereka dan menunggu turunnya hujan. Dan ternyata spesies ini dapat mengatasi ancaman perubahan suhu ini dengan baik karena ditemukan adanya karakteristik yang berbeda. Mereka memiliki empat set kromosom, bukan hanya dua seperti yang dimiliki oleh makhluk hidup pada umumnya.
Kondisi jumlah kromosom berlebih pada organisme, yang dikenal dengan istilah poliploidi, umumnya terjadi pada tumbuhan, tetapi sangat jarang terjadi pada hewan, terutama hewan vertebrata. Poliploidi kadang terjadi pada hewan hibrida (campuran), yaitu hewan hasil persilangan dua jenis hewan sejenis.
Dr.Ian Brennan, dari Australia National University mengatakan bahwa hewan hibrida, menurunkan kedua set kromosom dari masing-masing orang tuanya. Poliploidi dapat pula terbentuk karena kondisi-kondisi yang tidak biasa, seperti paparan dari zat kimia atau siklus suhu yang sangat dingin dapat memicu terjadinya autopoliploidi, dimana terjadinya penggandaan jumlah kromosom tanpa adanya perkawinan silang. Dan beberapa peristiwa eksotik dapat pula membentuk organisme dengan tiga hingga enam set kromosom.
Ekstra kromosom biasanya mengganggu proses perkembang biakan organisme, dan pada hewan-hewan poliploidi biasanya berkembang biak secara aseksual. Tetapi pada hewan katak Australia genus Neo Batrachus adalah salah satu pengecualian. Dari sembilan spesies katak Neo Batrachus yang diketahui, enam spesies adalah diploid (memiliki dua set kromosom), dan tiga spesies lainnya adalah tetraploid (memiliki empat set kromosom). Kesemuanya berkembang biak secara seksual.
Brennan merupakan bagian dari tim yang melakukan penelitian terhadap pohon keluarga dari genus Neo Batrachus, khususnya pada spesies tetraploid. Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan dalam PLOS Genetics.
Brennan dan tim melaporkan bahwa spesies tetraploid tidak semuanya dihasilkan dari sebuah kejadian. Kondisi ini adalah hasil dari proses evolusi yang berlangsung dalam waktu lama dan bertahap. Organisme diploid berada tahapan evolusi antara dan ekstra kromosom didapatkan secara independen.
“Walau tidak sering terjadi – tetapi pada genus ini terjadi tiga kali. Yang kita maksudkan adalah tiga buah peristiwa independen,” kata Brennan kepada Ifl Science. Dan mengapa pada genus yang satu ini sangat mudah terjadi proses yang tidak pernah terjadi pada spesies lainnya, Brennan hanya mengatakan, “kami memiliki beberapa teori, tetapi kami juga belum begitu yakin.”
Empat set kromosom tentu saja bertolak belakang dengan teori gen dominan /resesif pada hukum pewarisan Mendel yang kita pelajari di sekolah. Brennan-pun mengatakan, “terkadang hanya diperlukan dua buah salinan gen untuk menentukan adanya pengaruh genetis, tetapi pada kondisi lainnya, terjadi karena akumulasi dari proses mutasi.”
Dan kondisi poliploidi ini justru memberi keuntungan pada jenis katak penggali ini, dan para peneliti menemukan bahwa spesies tetraploid mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi cuaca saat ini, dimana hujan semakin jarang terjadi dan suhu semakin panas.
“Kami memperkirakan, spesies Neo Batrachus diploid akan terlebih dahulu kehilangan habitat akibat perubahan iklim ini, sementara spesies poliploid bisa menghindarinya.” Kata Brennan.
Para peneliti mengatakan, kondisi ini disebabkan karena pada spesies tetraploid terdapat keragaman genetik yang begitu besar. Banyak perkawinan silang terjadi antar spesies, yang menyebabkan bentuk pohon keluarga pada spesies menjadi begitu rumit dan bercabang-cabang. Dan gen baru akan lebih mudah terserap pada spesies tetraploid dibandingkan spesies diploid, menyebabkan mereka lebih mudah beradaptasi ketika terjadi perubahan kondisi.