BAGIKAN
(Sonja Wild – Dolphin Innovation Project)

Berdasarkan pengamatan selama 10 tahun terhadap lumba-lumba hidung botol di Shark Bay, Australia Barat, menunjukkan bahwa lumba-lumba mampu mengembangkan peralatan dalam membantu mencari makanannya. Para peneliti menemukan bahwa lumba-lumba ini memiliki perilaku budaya yang mirip dengan kera besar.

Para peneliti dari University of Konstanz Jerman, melaporkan hasil penelitiannya yang telah dipublikasikan di jurnal Current Biology.

Salah satu teknik yang digunakan untuk mendapatkan makanan  disebut sebagai “shelling”, yaitu dengan menjebak ikan ke dalam cangkang kerang berukuran besar yang telah kosong. Kerang-kerang itu kemudian dibawanya ke permukaan dan diguncangkannya sehingga airnya keluar bersama dengan ikannya yang langsung jatuh ke mulutnya yang terbuka. Penggunaan cangkang kosong dengan cara seperti ini, adalah sebanding dengan penggunaan alat bantu pada manusia.



Ini adalah jenis peralatan kedua yang pernah terdokumentasikan, yang digunakan oleh lumba-lumba dan perilaku lumba-lumba pertama – yang teramati – yang didapatkan dengan mempelajari apa yang dilakukan oleh lumba-lumba lainnya, seperti perilaku kera-kera besar.

Lumba-lumba (Tursiops aduncus) pertama kali teramati menggunakan peralatan lebih dari 20 tahun yang lalu. Mereka meletakkan bunga karang di atas moncongnya seperti sebuah thimble (pelindung jari ketika menjahit) untuk melindungi mereka ketika mereka berburu makanan. Perilaku ini disebut dengan “sponging”, dan membuat lumba-lumba mampu mengakses makanan hingga perairan dalam dibandingkan yang tidak melakukan sponging.

(Sonja Wild – Dolphin Innovation Project)

Kemampuan sponging pada lumba-lumba diturunkan dari garis matrilineal, artinya melalui ibu kepada anak perempuannya- sebuah jenis pembelajaran yang disebut transmisi vertikal.

Dan ada lagi jenis pembelajaran lainnya, yaitu transisi sosial horizontal, dimana individual mendapatkan kemampuan dari teman-teman mereka. Perilaku ini sering terlihat pada hewan-hewan yang memiliki budaya saling meniru yang kuat, seperti pada kera besar.

Karena melihat adanya kemiripan antara antara perilaku lumba-lumba dan kera besar di dalam kawanan mereka, para ilmuwan memperkirakan lumba-lumba juga mampu melakukan pembelajaran secara horizontal, seperti halnya kera besar.

“Walaupun diantara keduanya memiliki sejarah proses evolusi yang berbeda dan juga lingkungan tempat hidup mereka yang juga berbeda, baik lumba-lumba maupun kera besar memiliki banyak kesamaan, antara lain: masa hidup yang panjang, ukuran dan kapasitas otak yang besar untuk mengembangkan kemampuan berinovasi, dan budaya saling meniru.” Kata Krutzen.



Hasil penelitian sebelumnya tentang bagaimana lumba-lumba dapat belajar dari perilaku sesamanya dinilai cukup menjanjikan, tetapi masih belum meyakinkan. Kini sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh pakar ekologi perilaku Sonja Wild dari University of Konstanz di Jerman berhasil mengidentifikasi perilaku tersebut.

Berdasarkan data lebih dari satu dekade observasi, antara tahun 2007 hingga 2018, para peneliti berhasil mendokumentasikan perilaku lebih dari 1.000 individual lumba-lumba dan hampir 5.300 interaksi dengan hewan.

Selama pengamatan interaksi antar hewan, perilaku shelling berhasil teramati pada 19 individual yang berasal dari tiga garis genetik yang berbeda, pada 42 kejadian yang terpisah.

Angka itu relatif rendah jika dibandingkan dengan total jumlah interaksi, tetapi bagi para peneliti jumlah tersebut sudah cukup untuk melakukan analisis perilaku dan mengetahui bagaimana perilaku tersebut dipelajari.

Mereka menggunakan data genetik, perilaku dan lingkungan untuk membuat model jalur transmisi perilaku dan menemukan bahwa kemampuan shelling ini menyebar antar teman, bukan diturunkan dari orangtua.

“Hasil ini cukup mengejutkan, karena lumba-lumba cenderung bersifat konservatif dengan anaknya, melakukan strategi ‘lakukan apa yang ibu lakukan’ ketika belajar mencari makan,” kata Wild.

“Tetapi hasil penelitian kami menunjukkan bahwa lumba-lumba sangat mampu, dalam hal kemampuan shelling ini, dan termotivasi untuk belajar taktik baru dalam mencari makanan diluar ikatan ibu dan anak. Hasil ini membuka pemahaman baru tentang bagaimana lumba-lumba mampu beradaptasi dalam berperilaku pada perubahan kondisi lingkungan, dengan saling belajar dari kawanannya dan kemudian menyebarkan perilaku baru tersebut dalam populasi mereka.

Sebagai contoh, di tahun 2011, bencana gelombang panas laut menimpa habitat tumbuhan lamun yang merupakan tempat lumba-lumba mencari makan di wilayah Shark bay. Kondisi ini menyebabkan matinya ikan-ikan dan invertebrata yang hidup di dalam cangkang besar yang digunakan oleh lumba-lumba untuk berburu ikan. Dan setelahnya, terjadi peningkatan perilaku shelling pada lumba-lumba di Shark Bay.

Kemungkinan, kata para peneliti, menurunnya populasi ikan dan meningkatnya jumlah cangkang kerang memicu berkembangnya perilaku shelling ini.

“Saat ini kami hanya bisa berspekulasi apakah karena berkurangnya jumlah ikan buruan mendorong lumba-lumba untuk mengadopsi perilaku baru ketika berburu makanan dari kawanan mereka.” Kata Wild dalam sebuah pernyataan.

“Dan spekulasi ni mungkin saja benar dengan melihat banyaknya cangkang gastropoda besar yang mati, mungkin memperluas kesempatan lumba-lumba untuk mempelajari perilaku shelling ini.”