BAGIKAN
Kubah besar yang dibangun di atas kawah yang ditinggalkan oleh salah satu uji coba nuklir di Pulau Runit di Enewetak di Kepulauan Marshall

Ketika percobaan bom nuklir “cactus” dilakukan oleh US pada bulan mei 1958, ledakan yang dihasilkan bisa dibilang relatif kecil saat itu, tetapi telah meninggalkan peninggalan bagi kepulauan Marshall dalam bentuk limbah radioaktif berbentuk kubah.

Kubah yang digambarkan oleh pejabat PBB Antonio Guterres sebagai “peti mati” dibangun dua dekade setelah percobaan ledakan bom nuklir di kepulauan pasifik tersebut.

Militer US kala itu mengisi kawah bom nuklir di pulau Runit dengan limbah radioaktif, kemudian menutupinya dengan tembok beton, dan kemudian mengatakan pada penduduk kepulauan atoll Enewetalk bahwa mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.

Namun, pada tembok beton setebal 45 centimeter di pulau Runit baru-baru ini timbul retakan.

Dan karena belum pernah ada retakan sebelumnya di kawah yang berdiameter 115 meter ini, muncul kekhawatiran akan kontaminasi radioaktif yang keluar dari pori-pori batuan karang ke dalam lautan.

Kekhawatiran semakin memuncak seiring dengan timbulnya isu perubahan iklim. Meningkatnya permukaan air laut, mengancam dataran rendah di kawasan tersebut, dan ketahanan struktur dari kubah tersebut dikuatirkan akan rusak karenanya.

Jack Ading, yang mewakili parlemen dari kepulauan Marshall, menyebut kubah tersebut sebagai “monster”.

“Bangunan itu diisi oleh limbah radioaktif termasuk plutonium-239, salah satu dazat paling beracun yang pernah ada,” dia mengatakan pada AFP.

“Peti mati itu yang berisi racun telah bocor dan meracuni lingkungan sekitarnya. Dan yang membuat semua ini semakin buruk adalah kita diberitahu untuk tidak terlalu mengkhawatirkan masalah kebocoran ini, karena radiasi radiaktif diluar dari kubah setidaknya sama dengan radiasi di dalamnya.”


Gambaran grafis pembuangan limbah nuklir “kubah kaktus” milik US.

Kubah telah menjadi sebuah simbol dari kekacauan yang ditinggalkan oleh program pengujian bom nuklir US di kepulauan Marshall ketika 67 buah bom diledakkan antar tahun 1947-1958 di Enewetak dan atolls Bikini.

Para penghuni kepulauan tersebut dievakuasi secra paksa dari tanah tempat kelahiran mereka dan ditempatkan di lokasi lain, termasuk juga penduduk Enewetak. Ribuan orang penghuni kepulauan lainnya terkena radiasi radioaktif dan menghadapi berbagai macam ancaman penyakit.

Penduduk Enewetak akhirnya diperbolehkan untuk kembali ke rumah mereka di tahun 1980, dan sekitar 800 orang penduduk pulau tinggal dibagian selatan dari atoll, 20 kilometer dari pulau Runit.

Setelah militer US ditarik dari kepulauan, pemerintah kepulauan Marshall secara resmi menerima pembayaran penuh dan final sebagai penyelesaian untuk menutupi kerusakan yang diakibatkan oleh pengujian nuklir tersebut.

Tetapi telah banyak keluhan yang menyebutkan bahwa uang kompensasi yang diberikan oleh Washington sangat tidak layak, dan PBB menyebutnya sebagai “warisan ketidakpercayaan” atas perlakuan pemerintah US.

Sekretaris Jendral PBB, Guterres menaikkan isu ini pada bulan terakhir ini setelah menemui Presiden kepulauan Marshall Hilda Heine di Fiji, mereka mendiskusikan peninggalan nuklir dan kemungkinan adanya kebocoran radiaktif dari kubah Runit.


Ribuan penduduk kepulauan Marshall, ‘dipaksa’ keluar dari tanah kelahiran mereka menyusul dilanjutkannya pengujian nuklir di wilayah tersebut tahun 1950an.

“Kami semua tahu bahwa penduduk kepulauan Pasifik dikorbankan pada waktu itu, dan konsekuensi atas semua ini begitu dramatis, yaitu pengaruh buruk terhadap kondisi kesehatan mereka, dan juga tercemarnya sumber air di beberapa area,”

Mentri luar negri Marshalls, John Silk mengatakan bahwa dia menghargai upaya Guterres untuk mengangkat masalah kubah Runit ini menjadi perhatian dunia, dengan mengatakan, “Kami sangat menghargai pernyataan dari Sekretaris Jendral Gutteres , mengingat masalah ini terus berdampak terhadap warga negara kami dan selama ini telah dilupakan oleh masyarakat dunia.”

Masa depan yang tidak menentu

Rhea Moss-Christian, yang menjabat sebagai ketua dari Komisi Nuklir Nasional kepulauan Marshall, mengatakan bahwa negara mereka, “membutuhkan dukungan dari masyarakat internasional karena masalah kesehatan dan lingkungan hidup yang terganggu di sepanjang kepulauan Pasifik.

Dan konsekuensi atas bocornya kubah maasih tidak jelas.

Sebuah komisi inspeksi dibentuk oleh pemerintah US melaporkan bahwa kebocoran radioaktif di lapisan sedimen laguna Enewetak sudah sudah berada di level yang tinggi, tetapi belum menyebabkan terjadinya bencana akibat terpaparnya penduduk local oleh radiasi tersebut.


President Kepulauan Marshall, Hilda Heine tengah mendiskusikan peninggalan limbah nuklir dan kemungkinan adanya kebocoran radioaktif di wilayahnya.

Hingga saat ini, pemerintah US belum memberikan komitmen untuk terus memonitor kubah tersebut. Dan penduduk Enewetak sangat mengkhawatirkan kebocoran dari kubah tersebut. “Kami berdoa agar kubah Runit nantinya tidak menjadi peti mati kita,” kata Silk.