Sekitar 9.000 tahun yang lalu, para penduduk dari salah satu komunitas pertanian berukuran besar pertama di dunia, ternyata merupakan yang pertama mengalami berbagai kepelikan dan risiko akibat kehidupan sebuah perkotaan yang modern.
Berdasarkan reruntuhan kuno Çatalhöyük, di Turki, para ilmuwan menemukan bahwa penghuninya saat itu yang diperkirakan berjumlah sekitar 3.500 hingga 8.000 orang, mengalami kepadatan penduduk yang berlebihan, berbagai jenis penyakit menular, kekerasan dan permasalahan lingkungan.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Proceeding National Academy of Sciences, sebuah tim internasional yang terdiri dari para ahli bioarkeologi melaporkan temuan terbarunya yang disusun berdasarkan 25 tahun studi mereka tentang peninggalan manusia yang ditemukan di Çatalhöyük.
Hasilnya melukiskan sebuah gambaran tentang seperti apa jadinya saat manusia beralih dari gaya hidup pemburu-pengumpul yang berpindah-pindah menuju sebuah kehidupan yang jauh lebih menetap yang dibentuk di sekitar pertanian, kata Clark Spencer Larsen, penulis utama studi ini, dan merupakan seorang profesor antropologi di The Ohio State University.
“Çatalhöyük adalah salah satu komunitas proto-urban pertama di dunia dan penduduknya mengalami apa yang terjadi ketika Anda menempatkan banyak orang secara bersamaan pada sebuah area kecil untuk waktu yang lama,” kata Larsen.
“Ini mengatur panggung untuk tempat kita tinggal hari ini dan tantangan yang kita hadapi dalam kehidupan perkotaan.”
Penggalian di tahun 2015. (Çatalhöyük Research Project)
Çatalhöyük, yang sekarang dikenal sebagai Turki selatan-tengah, dihuni pada sekitar 7100 hingga 5950 SM. Pertama kali dilakukan penggalian arekeologis pada tahun 1958, situs ini berukuran 13 hektar area penggalian dengan sisa-sisa reruntuhan yang mencapai kedalaman hingga hampir 21 meter yang pernah ditinggali selama 1.150 tahun secara berkelanjutan.
Larsen, yang memulai penggalian di lokasi tersebut pada tahun 2004 hingga 2017, adalah salah satu pemimpin tim yang mempelajari sisa-sisa manusia sebagai bagian dari Proyek Penelitian Çatalhöyük yang lebih besar, yang disutradarai oleh Ian Hodder dari Stanford University.
Çatalhöyük berawal sebagai sebuah permukiman kecil di sekitar 7100 SM, kemungkinan terdiri dari beberapa rumah batu bata dari lumpur yang oleh para peneliti disebut periode Awal. Kemudian tumbuh hingga mencapai puncaknya pada periode Tengah dari 6700 hingga 6500 SM, sebelum populasinya menurun dengan cepat pada periode Akhir. Çatalhöyük telah terbengkalai sejak sekitar 5950 SM.
Pertanian selalu menjadi bagian utama dalam kehidupan pada sebuah masyarakat. Para peneliti menganalisis rasio karbon stabil isotop terhadap karakteristik kimia dari tulang-tulang untuk menentukan bahwa para penduduk saat itu memiliki makanan utama berupa gandum, jelai dan gandum hitam, berikut dengan berbagai tanaman lainnya yang tidak didomestikasi.
Rasio isotop nitrogen stabil digunakan untuk mendokumentasikan protein dalam makanan mereka, yang berasal dari domba, kambing, dan hewan yang tidak dijinakkan. Sapi yang didomestikasi mulai diperkenalkan pada periode Akhir, tetapi domba selalu menjadi hewan peliharaan yang paling utama di antara makanan mereka.
“Mereka bertani dan memelihara hewan sesaat setelah mereka membentuk komunitas, tetapi mereka mengintensifkan upaya mereka ketika populasi bertambah,” kata Larsen.
Seorang anak dimakamkan dengan orang dewasa.(Jason Quinlan/Çatalhöyük Research Project)
Pola makan yang sarat akan gandum ditandai dengan beberapa warga yang tak lama kemudian mengalami pembusukan gigi – salah satu yang disebut “penyakit peradaban,” kata Larsen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10 hingga 13 persen gigi orang dewasa yang ditemukan di situs menunjukkan bukti gigi berlubang.
Perubahan seiring waktu dalam bentuk penampang tulang kaki menunjukkan bahwa anggota masyarakat pada periode Akhir Çatalhöyük berjalan secara lebih signifikan dari penduduk awal. Itu menunjukkan bahwa masyarakat telah berpindah menuju pertanian dan menggembala lebih jauh dari pemukiman seiring berjalannya waktu, kata Larsen.
“Kami percaya bahwa degradasi lingkungan dan perubahan iklim memaksa anggota masyarakat untuk bergerak lebih jauh dari pemukiman menuju pertanian dan mencari pasokan seperti kayu bakar,” katanya. “Itu berkontribusi pada kepunahan Çatalhöyük.”
Penelitian lain menunjukkan bahwa iklim di Timur Tengah menjadi lebih kering selama sejarah Çatalhöyük, yang membuat pertanian semakin sulit.
Temuan dari studi baru menunjukkan bahwa penduduk menderita tingkat infeksi yang tinggi, kemungkinan besar karena kepadatan penduduk dan kebersihan yang buruk. Hingga sepertiga dari sisa-sisa jasad dari periode Awal menunjukkan bukti infeksi pada tulang mereka.
Selama puncaknya dalam populasi, rumah-rumah dibangun seperti apartemen tanpa ruang di antara mereka – penduduk datang dan pergi melalui tangga menuju atap rumah.
Penggalian menunjukkan bahwa dinding dan lantai interior diplester berkali-kali dengan tanah liat. Dan sementara para penghuni sebagian besar menjaga lantanya tetap bersih, analisis pada dinding dan lantai rumah menunjukkan jejak-jejak kotoran hewan dan manusia.
“Mereka hidup dalam kondisi yang sangat ramai, dengan tempat sampah dan kandang binatang tepat di sebelah beberapa rumah mereka. Jadi ada banyak masalah sanitasi yang dapat berkontribusi pada penyebaran penyakit menular,” kata Larsen.
Kondisi yang ramai di Çatalhöyük mungkin juga berkontribusi pada tingginya tingkat kekerasan di antara penduduk, menurut para peneliti.
Dari 93 buah sampel tengkorak di Çatalhöyük, lebih dari seperempatnya – 25 orang – menunjukkan bukti patah tulang yang telah sembuh. Dan 12 dari mereka telah menjadi korban lebih dari satu kali, dengan dua hingga lima orang terluka selama periode waktu tertentu. Bentuk lesi menunjukkan bahwa pukulan di kepala disebabkan oleh benda keras dan bulat – dan bola-bola tanah liat dengan ukuran dan bentuk yang cocok juga ditemukan di lokasi.
Lebih dari setengah korban adalah perempuan (13 perempuan, 10 laki-laki). Dan sebagian besar dari luka-luka itu ada di bagian atas atau belakang kepala mereka, menunjukkan para korban diserang dari belakang.
“Kami menemukan peningkatan cedera kranial selama periode Tengah, ketika populasi terbesar dan paling padat,” kata Larsen.
“Ada argumen yang mengatakan bahwa kepadatan yang berlebihan menyebabkan meningkatnya stres dan konflik dalam masyarakat.”
Sebagian besar orang dimakamkan di lubang-lubang yang telah digali di lantai rumah, dan para peneliti percaya bahwa mereka dikebumikan di bawah rumah tempat mereka tinggal. Itu mengarah pada temuan yang tidak terduga: Sebagian besar anggota rumah tangga tidak memiliki hubungan biologis.
Para peneliti menemukan hal ini ketika mereka menemukan bahwa gigi orang yang terkubur di bawah rumah yang sama, tidak sama dengan yang diperkirakan jika mereka adalah kerabat.
“Morfologi gigi sangat dikontrol secara genetik,” kata Larsen. “Orang-orang yang terkait menunjukkan variasi yang serupa pada mahkota gigi mereka dan kami tidak menemukannya pada orang yang terkubur di rumah yang sama.”
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan hubungan di antara orang-orang yang tinggal bersama di Çatalhöyük, katanya. “Itu masih semacam misteri.”
Secara keseluruhan, Larsen mengatakan pentingnya Çatalhöyük adalah bahwa itu adalah salah satu “mega-situs” Neolitik pertama di dunia yang dibangun di sekitar pertanian.
“Kita dapat belajar tentang asal usul langsung kehidupan kita hari ini, bagaimana kita diorganisasikan ke dalam komunitas. Banyak tantangan yang kita miliki saat ini adalah tantangan yang sama dengan yang mereka miliki di Çatalhöyük – hanya diperbesar. ”