BAGIKAN
Singa adalah salah satu simbol utama Inanna-Ishtar. Singa di atas berasal dari Gerbang Ishtar, gerbang kedelapan dari pusat kota Babilonia, yang dibangun sekitar tahun 575 SM di bawah perintah Nebukadnezar II.{Wikimedia]

Sebelum manusia menciptakan rumah sebagai tempat untuk menetap, mereka hidup berpindah-pindah tempat dalam suatu komunal egaliter yang disebut pemburu pengumpul. Wanita menjadi pengumpul makanan, sementara laki-laki berburu hewan. Tapi, sesekali wanita juga turut berburu hewan besar.

Di masa itu, sepanjang hidupnya seorang perempuan bisa belasan kali memilki suami. Begitupun sebaliknya. Dorongan untuk memilki keluarga utuh – ayah dan ibu – di antara primata, bertujuan untuk pengasuhan. Karena anak-anak mereka membutuhkan pengasuhan yang lebih lama dibandingkan hewan lainnya. Butuh kerja sama antara ayah dan ibu. Tapi masyarakat pemburu pengumpul hidup berkelompok, pengasuhanpun dilakukan secara bersamaan dan bergantian.

Meskipun setiap orang bisa bergonta ganti pasangan sesuka mereka, namun penyakit kelamin dan penyakit menular lainnya (zoonosis), jutru berkembang pertama kali saat manusia mendomestikasi hewan. Mereka menjinakkan hewan liar yang dijadikan sebagai ternak dan membantu pekerjaan di ladang. Manusia menjadi lebih dekat dengan hewan-hewan. Kondisi ini bisa saja memicu seorang penggembala yang tergoda untuk berekreasi dengan salah satu peliharaannya. HIV, diduga pertama kali ditularkan dari simpanse di tahun1920-an.

Zaman es pun berakhir. Sebagian besar daratan di bumi begitu subur. Hanya sedikit usaha untuk menumbuhkan tanaman, bahkan hanya dengan suatu ketidaksengajaan. Entah dari mana semuanya berawal, manusia akhirnya paham bahwa tumbuhan dapat dibudidayakan. Lalu akhirnya terbelenggu oleh sesuatu yang dinamakan sebagai “makanan pokok” yang kaya akan karbohidrat.

Waktu yang dihabiskan untuk menunggu hingga panen tiba, membuat manusia terdorong untuk mendirikan sebuah struktur yang lebih permanen. Rumah-rumah baru lalu didirikan, dan para wanita sebagian besar menghabiskan waktunya berada di dalamnya. Mengurus berbagai keperluan rumah tangga dan menjaga anak-anaknya. Beberapa pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh wanita, lalu digantikan oleh hewan ternak dan peliharaan. Perempuan menjadi dianggap kurang produktif karena tidak dapat membantu pekerjaan di ladang. Dalam kondisi tertentu, seorang anak perempuan bahkan ditukarkan hanya dengan seekor hewan ternak. Peristiwa seperti ini masih dijumpai hingga sekarang di berbagai negara berkembang seperti Afghanistan.

Pada masa itu, wanita tidak banyak memiliki pilihan selain harus patuh di bawah aturan yang diciptakan oleh para lelaki yang berkuasa. Mereka diperjualbelikan sebagai budak. Atau menyerah sebagai pekerja prostitusi di bawah naungan dogma suatu keyakinan. Prostitusi pernah dianggap sakral dan berkembang di berbagai belahan dunia, melintasi berbagai kebudayaan dan agama. Mulai dari Mesopotamia hingga Kemukus.

Sejarawan Yunani kuno, Herodotus, dalam karyanya “Histories” menceritakan bahwa setiap wanita Babilonia di era Hammurabi, setidaknya sekali dalam hidupnya, harus berada di luar kuil dewi Ishtar (Inanna) dan bersedia untuk berhubungan badan dengan siapapun yang telah memilihnya. Begitu dia selesai melakukan ritual ini, seorang pengunjung lelaki memberinya uang untuk disumbangkan kepada kuil. Kebiasaan ini dianggap untuk memastikan kesuburan dan kemakmuran masyarakat yang berkelanjutan.

Wanita penghibur di kuil adalah mereka yang melakukan perdagangan seks di dalam kesucian kuil, dengan seizin para imam kuil dan dilakukan untuk dewa mereka. Seorang wanita lajang mungkin menemukan pekerjaan di kuil suci atau sebagai pembantu rumah tangga, tetapi jika tidak, dia akan kesulitan menghidupi dirinya sendiri.

Namun, karena keperawanan seorang wanita dianggap sebagai syarat untuk pernikahan, tampaknya tidak mungkin bahwa wanita yang belum menikah akan mengambil bagian dalam ritual ini, tapi Herodotus menyatakan bahwa “setiap wanita” diharuskan melakukannya. Itu sebab sebagian mengatakan bahwa banyak yang pergi ke kuil sebagai perawan untuk mengabdikan hidup mereka dan tubuh mereka untuk menyembah dewa dewi mereka.

Dalam konteks agama yang berkembang saat itu, prostitusi sakral dianggap sebuah ritual suci dan menjadi bagian dari hukum negara. Tidak peduli seberapa terhormatnya seorang perempuan. Mereka mungkin mendatangi kuil dengan kesombongan dan dikawal oleh sekelompok pembantu hanya untuk berdiam diri di luar kuil. Lalu seketika tak berdaya saat seorang lelaki melemparkannya koin.

Bagaimanapun, reproduksi akan melahirkan seorang manusia imut yang disebut bayi, meskipun tidak pernah diharapkan.

Di tahun 1867, Sir Henry Rawlinson menerbitkan “The Legend of Sargon,” berdasarkan temuannya di Perpustakaan Raja Ashurbanipal Asyur saat melakukan penggalian arkeologis di kota Mesopotamia kuno, Niniwe.

Menurut prasasti yang ditulis dalam huruf paku tersebut, Sargon dilahirkan sebagai anak tidak sah dari seorang wanita penghibur kuil. Ia tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Ibunya tidak dapat mengungkapkan kehamilannya serta membesarkannya. Sang ibu kemudian menyembunyikan bayinya di dalam sebuah keranjang dan dibiarkannya hanyut terbawa oleh air sungai Efrat. Untungnya, bayi itu diselamatkan oleh seorang tukang kebun lalu membesarkannya hingga akhirnya menjadi seorang raja terkemuka : Sargon dari Akkadian.