BAGIKAN

Jakarta (ANTARA News) – “Saya senang dan bersyukur karena setelah lulus nanti akan punya dua ijazah, yakni satu ijazah SMK Negeri V Makassar dan satu lagi sertifikat juru ukur dari LPJK Daerah Sulawesi Selatan,” kata salah seorang siswi.

Siswa itu bernama Wahyuningsih (19). Pelajar SMK Negeri V Makassar itu akan mengikuti mengikuti dua hari pelatihan dan sertifikasi di Balai Jasa Konstruksi Wilayah VI Makassar, pertengahan Desember.

Wahyuningsih merasa yakin punya peluang lebih baik untuk mencari lapangan pekerjaan setelah lulus dari SMK karena sudah punya dua sertifikat, yakni ijzah SMK dan sertifikat juru ukur muda dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi setempat.

“Saya punya peluang lebih baik karena kompetensi saya lebih baik ketimbang lulusan yang mengandalkan ijazah SMK semata,” kata Wahyuningsih.

Harapan seorang siswi SMK itu tak berlebihan karena memang seharusnya seperti itulah potret lulusan SMK di Indonesia, yakni kompetensinya diakui oleh LPJK sehingga memudahkan yang bersangkutan mencari lapangan pekerjaan, menciptakan peluang, dan bersama komponen lain berpartisipasi bagi pertumbuhan ekonomi.

Wahyuningsih tidak sendiri. Sebenarnya semangat untuk memiliki sertifikat kompetensi ini juga diinginkan oleh jutaan calon tenaga kerja di Indonesia, khususnya sektor konstruksi nasional. Pada saat itu, Wahyuningsih bersama 1.183 tenaga konstruksi se-Sulawesi sedang mengikuti pelatihan, ujian sekaligus sertifikasi secara gratis.

Kepala Balai Jasa Konstruksi Wilayah VI Makassar Moody Sanger mengatakan bahwa kegiatan tersebut bagian dari kegiatan serupa di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah peserta masing-masing 1.200 orang.

Khusus Sulawesi, lebih dari 1.000 tenaga konstruksi yang terdiri atas 110 orang juru ukur di Politeknik Negeri Makassar, 35 orang di Universitas Hasanuddin, 100 orang juru ukur dari SMK Negeri V Makassar, 75 orang pelaksana jalan Enrekeng, 155 orang dari Pare-Pare, 35 orang tukang/mandor dari Gowa, 50 orang tukang/mandor dari Bumikarsa, 200 orang tukang/mandor dari LPJK, 25 orang tukang/mandor di Bumi Tamalanrea Permai, 200 orang dari Provinsi Sulteng, dan 200 orang dari Provinsi Sulawesi Barat.

Gerakan sertifikasi itu merupakan bagian dari target sertifikasi tenaga konstruksi secara nasional hingga 2019 sebanyak 750.000 tenaga konstruksi ahli dan terampil.

Sertifikasi tidak lain adalah untuk meningkatkan daya saing para tenaga konstruksi itu sendiri, termasuk menyiapkan tenaga konstruksi nasional bersaing pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku sejak 2015.

“Tidak hanya di ASEAN, tenaga konstruksi nasional juga harus siap bercaing di kancah internasional atau global,” kata Moody.

Gagal Konstruksi
Salah satu tolok ukur dari keberhasilan sebuah proses konstruksi adalah hasil konstruksi dari sebuah proyek yang dibangun oleh kontraktor dan tenaga konstruksi di dalamnya adalah ketiadaan kegagalan dalam konstruksi itu sendiri.

Artinya, jika sebuah bangunan dinyatakan selesai, prosesnya secara ideal berhenti sampai di situ. Proses berikutnya adalah pemeliharaan oleh pemakai atau pemesan.

Namun, apa yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir, sejumlah proyek konstruksi nasional ternyata sering kali masih terjadi kegagalan konstruksi atau dengan kata lain proyek yang dibangun ternyata bermasalah sehingga bangunan menjadi runtuh sebelum waktunya atau bagian tertentu mengalami kegagalan.

Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Yusid Toyid pernah memberikan contoh runtuhnya jembatan penyeberangan orang di Pasar Minggu, robohnya atap Bandara Terminal 3 Ultimate Soekarno-Hatta, robohnya Jembatan Kuning di Klungkung Bali, dan robohnya Jembatan Sekarteja di Lombok Timur yang menyebabkan korban jiwa.

“Kurangnya kompetensi pekerja konstruksi menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan bangunan dan kecelakaan konstruksi. Oleh karena itu, kami terus mendorong adanya sertifikasi tenaga kerja konstruksi sehingga kualitas pekerja konstruksi dapat dijamin dan diandalkan,” katanya.

Bahkan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pernah berujar bahwa ke depan sertifikasi menjadi modal para pekerja konstruksi terjun dan diakui di dalam pekerjaan konstruksi.

“Konkretnya, tidak bisa lagi proyek konstruksi dilakukan oleh pekerja atau tukang-tukang dari kampung yang tidak jelas kompetensinya. Mereka selama ini disebut tukang kan hanya oleh kalangan mereka sendiri, bukan oleh lembaga yang kompeten,” katanya.

Persoalannya berapa sebenarnya tenaga konstruksi di Tanah Air saat ini dan berapa yang memiliki kompetensi memadai yang antara lain ditandai dengan kepemilikan sertifikasi kompetensi?

Data dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) 2016 tentang Potret Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia Kuartal I 2016 menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi bersertifikasi sebanyak 500.566 orang.
ii
Sementara itu, pekerja konstruksi yang bersertifikat baru sekitar 5,5 persen dari sekitar 7,3 juta tenaga kerja konstruksi (data BPS) dan dari data itu hingga Desember 2015 sesuai dengan data LPJKN terdiri atas 122.501 orang tenang ahli dan 279.194 orang tenaga terampil.

Pertanyaan berikutnya apakah ini sudah cukup di tengah program percepatan pembangun infrastruktur nasional hingga 2019 dengan nilai investasi hampir Rp5.000 triliun?

Dukungan Regulasi
Indonesia dan pemakai tenaga konstruksi global agaknya tidak bisa lagi menghindar dari kehadiran pelaku jasa konstruksi kompeten, profesional, dan bermartabat.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pernah berharap sektor konstruksi tumbuh sebesar 8,1 persen pada tahun 2017 seiring dengan peningkatan proyek-proyek infrastruktur pemerintah dan swasta.

Mengingat sektor konstruksi lebih banyak dikontribusikan oleh swasta, guna mendorongnya bergerak lebih tinggi, pemerintah juga akan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus, seperti suku bunga yang tetap dijaga rendah dan stabil, nilai tukar yang dijaga stabil, inflasi yang terjaga, serta kemudahan perizinan dan ketersediaan barang modal, serta bahan baku proyek-proyek konstruksi.

Salah satu dampak utama dari pertumbuhan sektor konstruksi adalah meningkatnya permintaan pekerjaan pada badan usaha jasa konstruksi dan kebutuhan tenaga kerja konstruksi.

Untuk itu, kehadiran sebuah regulasi terhadap sektor ini secara berkesinambungan sangat diperlukan dan di penghujung tahun ini. Kebutuhan soal ini sepertinya mendapatkan sebuah jawaban.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang sudah berlaku sejak 17 tahun akhirnya digantikan dengan UU Jasa Konstruksi yang baru sejak pertengahan Desember 2016.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Jasa Konstruksi menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Ke-15 di Gedung DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Kamis (15/12).

Undang-Undang Jasa Konstruksi yang baru ini merupakan inisiatif DPR yang terdiri atas 14 Bab dan 106 pasal dan telah melalui harmonisasi dengan peraturan sektor lain, seperti UU No. 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 23/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan aturan terkait lainnya.

Tantangan ke depan terhadap perkembangan jasa konstruksi mendorong dilakukannya revisi RUU, mengingat industri konstruksi Indonesia yang sangat dinamis dan perlu adanya pengaturan terhadap rantai pasok, system delivery dalam sistem pengadaan barang dan jasa serta mutu konstruksi.

Oleh karena itu, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa RUU Jasa Konstruksi tidak lagi berorientasi hanya pada urusan bidang PUPR, tetapi mencakup penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh.

Beberapa substansi penting dalam regulasi itu, antara lain, adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang adil, sehat, dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi melalui kemitraan dan sistem informasi sebagai bagian dari pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.

Selain itu, lingkup pengaturan yang diperluas tidak hanya mengatur usaha jasa konstruksi, tetapi mengatur pula rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan, adanya perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan jasa konstruksi agar tidak mengganggu pembangunan serta perlindungan ini termasuk perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi.

Selain itu, tidak terdapat klausul kegagalan pekerjaan konstruksi, tetapi hanya ada klasul kegagalan bangunan. Hal ini sebagai perlindungan antara pengguna dan penyedia jasa saat melaksanakan pekerjaan konstruksi, termasuk di dalamnya adalah perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dalam bekerja di bidang jasa konstruksi, termasuk pengaturan badan usaha asing yang bekerja di Indonesia, juga penetapan standar remunerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi.

Terakhir adalah adanya jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk di bidang jasa konstruksi dan mewujudkan jaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang sejalan dengan nilai-nilai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).

Regulasi baru ini selayaknya memang segera dilengkapi dengan peraturan perundangan di bawahnya karena semangat UU yang baru ini harus sudah bisa diberlakukan secara penuh mulai 2018.

Akhirnya, seluruh pemangku kepentingan berharap bahwa upaya meningkatkan daya saing tenaga konstruksi nasional melalui dukungan regulasi ini benar-benar sesuai dengan harapan agar pelaku jasa konstruksi nasional menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.