BAGIKAN
Mitchel Letsink/Unsplash

Menurut hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan di JAMA Psychiatry, apabila pada masa kecil hingga remaja anda pernah mendapat perawatan di rumah sakit karena infeksi yang mengharuskan pemakaian antibiotik, resiko anda untuk terkena gangguan mental akan semakin besar.

Penelitian ini didasarkan pada data kesehatan remaja di Denmark hingga usia 17 tahun. Dari data tersebut ditemukan, penggunaan antibiotik dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada seseorang. Hubungan ini kemungkinan disebabkan karena terganggunya keseimbangan bakteri pada mikrobioma pencernaan akibat konsumsi antibiotik.

Penelitian ini, yang mendukung sebuah teori tentang interaksi fungsional antara infeksi, mikrobioma pencernaan dan gangguan mental, adalah adalah satu yang paling mendekati dari 50 laporan ilmiah yang telah dipublikasikan, yang menggunakan data Danish Psychiatric Central Research Register sejak akhir tahun 2018.

Para peneliti melakukan penyelidikan terhadap data klinis lebih dari satu juta pasien – untuk kasus ini mulai dari data tahun 1995 tentang pasien- pasien di Denmark yang menjalani perawatan karena gangguan mental selama 17 tahun pertama dalam hidup mereka, baik di rumah sakit maupun rawat jalan. Setiap status medis secara umum maupun untuk kesehatan mental pasien, termasuk resep obat dan sejarah keluarga mereka, yang memang terdokumentasikan pada setiap individu setiap tahunnya.

Antibiotik, autisme dan depresi

Selama ini telah diketahui bahwa mikrobioma pencernaan, kelompok bakteri yang hidup di saluran pencernaan kita, akan mengirim sinyal ke otak, dan mempengaruhi mood dan mungkin saja, kerentanan kita pada gangguan mental.

Penelitian pada hewan tentang hubungan antara bakteri dan depresi sudah pernah dilakukan sebelumnya. Salah satu penelitian pada tikus yang diberikan antibiotik pada dosis tertentu menghasilkan perubahan keragaman mikrobioma usus dan ketika dilakukan tes memori pada tikus tersebut, hasilnya sangat buruk.

Pada hewan yang jumlah bakteri pada ususnya menjadi berkurang karena penggunaan antibiotik spektrum luas, menunjukkan gejala yang mengarah pada berbagai gejala gangguan mental, seperti spektrum autism, kelainan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dan depresi.

Pada penelitian lainnya, peneliti mentransplantasikan sampel feses dari pasien manusia yang menderita depresi pada tikus. Dan tikus tersebut menunjukkan gejala-gejala mirip dengan depresi. Dan dalam sebuah penelitian lainnya, transplantasi feses dari pasien manusia yang menderita kecemasan menghasilkan tikus yang juga menderita kecemasan.

Penelitian-penelitian diatas menunjukkan adanya hubungan antara mikrobioma dan status kesehatan mental seseorang, tetapi bagaimana keduanya berhubungan dalam basis molekuler masih belum diketahui dengan pasti.

Bakteri untuk pengobatan depresi?

Pada penelitian yang dipublikasikan dalam Nature Mikrobiologi pada Desember 2018, Philip Strandwitz dan rekan-rekannya di Northeastern University, Boston, meneliti sebuah tipe langka dari bakteri usus yang diberi nama KLE1738.

Bakteri langka ini memakan asam gamma-aminobutirat, yang juga dikenal dengan GABA. Dan jenis bakteri lainnya, Bacteroides, menghasilkan GABA, menyuplai makanan untuk bakteri KLE1738 agar tetap hidup.

Dari penemuan ini kita bisa tahu bagaimana beragam jenis bakteri yang ada di usus saling bekerja sama. Dan keberadaannya juga sangat penting mengingat GABA adalah komponen neuroaktif yang dibutuhkan oleh sistem pusat saraf untuk bisa bekerja dengan normal. Dan hampir pada semua kasus depresi diasosiasikan dengan berkurangnya GABA di sistem saraf. 

Strandwitz berhipotesis bahwa mikrobioma yang memiliki lebih banyak bakteri yang memproduksi GABA, akan membuat inang manusianya menjadi lebih bahagia. 

Dalam sebuah pilot studi kecil pada 23 pasien, ditemukan bahwa pada mereka yang memiliki jumlah bacteroides – bakteri penghasil GABA- yang lebih tinggi, secara relatif akan mengalami gejala depresi ringan.

Hubungan antara usus dan Kesehatan mental

Tetapi hasil dari pilot studi kecil ini masih diragukan karena jumlah pasien yang sedikit dan tidak mengawasi apakah obat-obatan yang diberikan benar-benar diminum oleh para pasien. Dan sejumlah besar pasien diberikan obat anti-depresan dalam dosis dan jenis yang berbeda-beda, yang diharapkan akan memberikan efek terhadap mereka.

Dan selain faktor penggunaan obat-obatan, faktor lainnya dari para pasien, seperti umur, gender, dan latar belakang genetik mungkin juga berpengaruh terhadap kualitas komunikasi antara usus dan otak.

Dan dengan skala yang lebih besar, hasil penelitian ini tentunya lebih menjanjikan. Data Danish psychiatry registry mendokumentasikan setiap aspek klinis pada kehidupan lebih dari satu juta pasien yang mengunjungi rumah sakit untuk penyakit mental. 

Bahkan setelah diklasifikasikan menurut umur, gender, jenis penyakit mental, sejarah penggunaan obat, akan ada cukup data pasien untuk dijadikan perbandingan.

Dan diharapkan hasil penelitian ini bisa menginspirasi negara-negara lainnya untuk melakukan hal yang sama. Pada bulan November 2016, misalnya, Asosiasi Psikiatri AS mengumumkan peluncuran pusat data nasional untuk penyakit mental yang diberi nama PsychPRO.



Ditulis oleh Christine Bear, Professor Fakultas kedokteran, University of Toronto, Kanada.

Sumber: The Conversation