BAGIKAN

Perilaku sosial dalam kelompok primata telah lama menjadi fokus penelitian karena relevansinya dengan evolusi perilaku manusia. Beberapa perilaku sosial yang menular, seperti menguap bersama (contagious yawning) dan perawatan sosial (social grooming), telah dikaji secara mendalam. Namun, studi terbaru oleh Onishi et al. (2025) menunjukkan bahwa urinasi juga dapat menjadi perilaku sosial yang menular di antara primata, khususnya pada simpanse (Pan troglodytes). Temuan ini menyoroti bahwa urinasi tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme fisiologis, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang berpotensi mempengaruhi kohesi kelompok.

Metode Penelitian

Studi oleh Onishi et al. (2025) dilakukan di Kumamoto Sanctuary, Jepang, dengan mengamati 20 simpanse (16 jantan dan 4 betina) selama 604 jam. Para peneliti mencatat insiden urinasi yang terjadi dalam waktu 60 detik setelah individu lain melakukan urinasi, sebagai indikator kemungkinan “penularan sosial”. Selain itu, mereka mengukur jarak fisik antara individu dan menganalisis faktor sosial, seperti hierarki dominasi, untuk menentukan apakah hubungan sosial memengaruhi kemungkinan urinasi serempak.

Hasil Penelitian

Hasil studi menunjukkan bahwa simpanse lebih cenderung melakukan urinasi jika mereka berada dalam jarak kurang dari tiga meter dari individu yang sebelumnya telah buang air kecil. Namun, faktor kedekatan sosial (frekuensi grooming) tidak berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan perilaku urinasi serempak. Sebaliknya, individu yang lebih rendah dalam hierarki dominasi lebih mungkin mengikuti perilaku urinasi dari individu yang memiliki status sosial lebih tinggi.

Temuan ini menunjukkan bahwa perilaku urinasi dalam kelompok primata bukan sekadar respons fisiologis, tetapi dapat menjadi bagian dari sistem sosial yang lebih kompleks. Dalam beberapa kasus, urinasi serempak mungkin mencerminkan mekanisme kohesi sosial atau bahkan strategi komunikasi non-verbal dalam kelompok.

Pembahasan

Penularan perilaku sosial telah lama diamati pada primata, terutama dalam konteks yawning (menguap) dan grooming (perawatan sosial) (Palagi et al., 2009). Studi oleh Yamamoto dan rekannya (2025) menunjukkan bahwa urinasi serempak memiliki karakteristik yang mirip dengan perilaku sosial lainnya.

Studi sebelumnya juga mengindikasikan bahwa perilaku sosial dan kebersihan berperan penting dalam kelompok primata. Nunn (2003) menemukan bahwa primata menggunakan urinasi sebagai bentuk perlindungan terhadap penyakit menular seksual. Sementara itu, penelitian oleh Kavaliers dan Choleris (2018) menunjukkan bahwa urinasi dapat menjadi mekanisme pertahanan terhadap parasit dan patogen, yang berkaitan dengan pemeliharaan kebersihan kelompok. Dalam konteks manusia, perilaku ini memiliki kemiripan dengan kebiasaan sosial seperti pergi ke kamar mandi secara berkelompok, yang dapat memiliki akar evolusioner yang serupa.

Implikasi Evolusi

Penemuan ini memberikan wawasan baru tentang evolusi perilaku sosial pada primata. Dalam banyak spesies sosial, perilaku yang disinkronkan sering kali berkaitan dengan fungsi adaptif, seperti mengoordinasikan aktivitas kelompok atau mengurangi risiko predasi (Rushmore et al., 2017). Pada manusia, perilaku urinasi yang berkelompok juga dapat dikaitkan dengan norma sosial dan faktor keamanan.

Lebih lanjut, penelitian oleh Kappeler dan Cremer (2015) menunjukkan bahwa perilaku sosial memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan individu dalam kelompok. Dalam konteks ini, urinasi sosial mungkin berfungsi sebagai bagian dari strategi kebersihan kelompok, yang membantu mengatur interaksi sosial dan mengurangi risiko penyebaran penyakit.

Kesimpulan

Studi ini menyoroti bahwa urinasi dapat menjadi perilaku sosial yang menular di antara primata, terutama dalam konteks hierarki sosial. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana mekanisme ini berkontribusi terhadap dinamika sosial dan kesejahteraan kelompok primata. Selain itu, implikasi evolusi dari perilaku ini mungkin dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang perkembangan norma sosial dalam kehidupan manusia.


Referensi

  1. Onishi, E., Brooks, J., Inoue, S., & Yamamoto, S. (2025). Socially contagious urination in chimpanzees. Current Biology. PDF
  2. Palagi, E., Leone, A., Mancini, G., & Ferrari, P. F. (2009). Contagious yawning in gelada baboons as a possible expression of empathy. PNAS, 106(46), 19241-19246. PDF
  3. Nunn, C. L. (2003). Behavioural defences against sexually transmitted diseases in primates. Animal Behaviour, 66(1), 37-48. ScienceDirect
  4. Kavaliers, M., & Choleris, E. (2018). The role of social cognition in parasite and pathogen avoidance. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 373(1751), 20170206. PDF
  5. Rushmore, J., Bisanzio, D., & Gillespie, T. R. (2017). Making new connections: insights from primate–parasite networks. Trends in Parasitology, 33(10), 755-767. Academia.edu
  6. Kappeler, P. M., & Cremer, S. (2015). Sociality and health: impacts of sociality on disease susceptibility and transmission in animal and human societies. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 370(1669), 20140116. PDF