Senyawa-senyawa turunan ganja yang dikenal dengan CBD (cannabidiol) sudah dipasarkan secara bebas di beberapa negara sebagai penyembuh berbagai macam penyakit. Selama ini tersebar luas informasi yang mengatakan bahwa senyawa ini adalah penyembuh berbagai penyakit, dari yang ringan sampai yang sangat berat, dari masalah jerawat, nyeri kronis hingga depresi dan gangguan tidur.
Walaupun hingga kini belum banyak bukti kuat yang mendukung klaim tersebut, hasil penelitian terbaru yang hasilnya telah dipublikasikan dalam JAMA Network Open, menunjukkan bahwa ada banyak orang yang lebih memilih membeli CBD dalam bentuk suplemen untuk mengobati penyakitnya dibandingkan dengan jenis pengobatan yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Tim peneliti menganalisis ratusan testimoni yang dipilih secara random dari sebuah forum di Reddit tentang penggunaan CBD antar Januari 2014 hingga 2019, dan tim peneliti menemukan bahwa banyak pengguna CBD yang percaya bahwa senyawa ini adalah pengobatan medis yang efektif untuk berbagai macam masalah kesehatan, walaupun tidak didukung oleh bukti-bukti hasil penelitian ilmiah.
Sekitar 90 persen dari 376 testimonial yang ada mengklaim bahwa CBD dapat mengobati masalah kesehatan yang terdiagnosis. Masalah-masalah psikiatri seperti autism dan depresi yang paling sering dibahas dalam forum tersebut.
Testimonial lainnya melaporkan penggunaan CBD dalam bentuk kapsul oral dan ekstrak untuk mengatasi masalah sakit sendi, gangguan tidur dan gangguan neurologis, masalah pencernaan, kecanduan, kesehatan mulut dan bahkan masalah kardiovaskuler seperti palpitasi jantung (jantung berdetak terlalu cepat).
“Publik sepertinya sangat percaya bahwa CBD adalah obat dari berbagai penyakit,” kata Davey Smith, salah seorang peneliti yang juga menjabat sebagai kepala bidang penyakit-penyakit infeksi dan kesehatan publik global di University of California, San Diego.
“Siapa yang akan menduga bahwa publik percaya bahwa CBD adalah obat untuk penyakit-penyakit kardiologi?”
Kehadiran CBD sangat menjanjikan dalam dunia kesehatan, sangat potensial untuk mengatasi gangguan tidur dan masalah nyeri kronis, tetapi popularitasnya yang semakin besar sebagai obat penyakit-penyakit lainnya tidak sebanding dengan bukti-bukti ilmiah yang ada.
Manfaat kesehatan dari senyawa non-psikoaktif ini perlu diteliti lebih lanjut, dan seperti yang dituliskan dalam sebuah laporan penelitian ditahun 2014: “Kita harus mempertanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita terlalu yakin akan apa yang kita lakukan.’
Para peneliti melakukan penelitian atas berbagai posting di internet tentang penggunaan CBD dalam kurun waktu lebih dari lima tahun, ada sekitar 2000 post per bulan dan hampir 12.000 per tahun, dan sebagian besar dari perbincangan dalam forum tentang CBD membicarakan tentang efek teurapetik (manfaat sesuai dengan yang diinginkan) dari senyawa ini.
Bahkan hingga saat ini, badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) baru mengeluarkan persetujuan atas satu metode pengobatan dengan menggunakan CBD untuk dua gejala parah dari penyakit epilepsi, dan produk ini hanya bisa didapatkan dengan resep dokter.
“Khasiat lainnya termasuk untuk mengatasi dua jenis gejala kejang yang sangat langka,” kata James Adams, Chief Medical Officer di Northwestern Medicine yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
FDA nampaknya melihat terbatasnya data yang mendukung keamanan penggunaan pengobatan alternatif secara bebas. Dan dari beberapa bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang dari CBD dapat menyebabkan efek samping negatif pada liver dan juga efek negatif ketika digunakan bersama dengan obat lainnya.
Para peneliti mengatakan, yang dikhawatirkan adalah ketika orang-orang yang menderita suatu penyakit yang sebenarnya bisa diobati dengan obat yang ada, beralih pada pengobatan CBD yang mereka anggap lebih menjanjikan. FDA telah mengeluarkan peringatan pada beberapa perusahaan-perusahaan CBD atas praktek pemasaran yang berlebihan atas produk mereka.
Beberapa produk CBD, seperti minyak CBD dan dalam bentuk ekstrak dijual sebagai suplemen, dimana untuk jenis ini tidak diatur keamanan dan kandungannya oleh FDA, artinya kita tidak pernah diberikan informasi yang benar seberapa besar dosis CBD dalam suplemen tersebut.
Dan pada beberapa produk CBD bisa saja terkandung bahan-bahan psikoaktif, seperti THC (tetrahydrocannabinol) yang dapat menyebabkan mabuk. Dan faktanya, ada beberapa post di forum CBD ini yang mendiskusikan masalah ini, dimana salah satu pengguna mengakui gagal dalam tes obat terlarang karena mengkonsumsi CBD untuk mengatasi nyeri yang ia alami.
Sampel dari penelitian ini relatif kecil, tidak dapat mewakili keseluruhan pandangan publik yang lebih luas. Tetapi hasil dari penelitian yang menggunakan data dan rentang waktu yang panjang menunjukkan bahwa penggunaan CBD semakin meluas dan para pengguna lebih menganggap produk ini sebagai suplemen dibandingkan obat.
“CBD adalah “minyak ular’ masa kini,” demikian Eric Leas, yang sedang menempuh Pendidikan kesehatan masyarakat di UC San Diego mengatakan. “Telah ada jutaan orang yang percaya bahwa sebuah terobosan pengobatan telah ditemukan, padahal faktanya mereka menggunakan sebuah produk yang belum terbukti keampuhannya secara ilmiah.”