Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang telah dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, sepuluh orang pasien kritis COVID-19 di China menunjukkan kemajuan yang signifikan setelah menerima transfusi plasma convalescent dari pasien sehat yang telah sembuh dari penyakit tersebut.
Walaupun belum ada riset yang cukup untuk bisa memastikan apakah metode transfusi plasma convalescent ini cukup efektif menyembuhkan pasien dengan COVID-19, kebutuhan akan cairan ini untuk trial klinis pengobatan terus meningkat. Sebuah kelompok relawan di Amerika Serikat yang tergabung dalam Survivor Corp, sejak pertama kali dibentuk telah berhasil mengumpulkan pasien-pasien yang telah sembuh dari COVID-19 untuk ikut mendonorkan plasma darah mereka bagi keperluan penelitian.
Ketika kita terinfeksi oleh virus atau bakteri, tubuh kita memberikan respon imun untuk menyerang patogen yang masuk dengan memproduksi zat antibodi. Antibodi adalah protein-protein pelindung di dalam darah kita yang bertugas menyerang pathogen-pathogen seperti bakteri dan virus yang masuk ke dalam sistem tubuh kita. Zat antibodi ini akan bertahan di dalam darah selama beberapa waktu – biasanya sekitar tiga bulan- dan pada saat itulah plasma darah bisa diekstraksi dari darah pasien.
Plasma adalah komponen dalam darah yang terlihat tidak berwarna ketika dipisahkan. Pasien yang menerima transfusi plasma darah ini bisa memperoleh manfaat dari zat antibodi yang terkandung di dalam darah pendonor. Pemberian plasma darah ini bertujuan untuk membantu sistem imun pasien COVID-19 yang sedang berperang melawan patogen di dalam tubuh, memberikan waktu lebih agar tubuh bisa memproduksi lebih banyak lagi zat antibodi.
Tetapi, plasma memiliki umur simpan yang sangat pendek. Artinya, jika nanti metode ini terbukti efektif, para peneliti harus bisa memodifikasi metode proses pengambilan dan pengisolasian plasma agar bisa didistribusikan ke berbagai lokasi di seluruh dunia tanpa mempengaruhi kualitasnya. Teknik ini juga pernah dikembangkan dalam pengobatan rabies.
Saat ini, trial klinis acak telah mulai dilakukan di Amerika Serikat dan mereka tidak perlu mengkhawatirkan kurangnya pasokan plasma darah untuk penelitian, karena persediaan lebih dari cukup. Semua ini berkat bantuan kelompok relawan yang terdiri dari 32.000 pasien dan penyintas COVID-19 yang memastikan cukupnya ketersediaan pasokan plasma darah bagi penelitian ini. Pada trial klinis yang dilakukan di Columbia University, terdapat lebih dari 2.000 orang yang masuk dalam daftar tunggu sebagai relawan penelitian ini. Survivor corps, secara kontinyu memberikan informasi pada para anggotanya tentang dimana saja mereka bisa menjadi pendonor dan trial klinis yang membutuhkan bantuan mereka. FDA menekankan bahwa pendonor plasma adalah individu yang pernah terkonfirmasi positif COVID-19, memenuhi syarat sebagai pendonor darah, dan tidak menunjukkan gejala selama minimum 14 hari.
Badan pelayanan Kesehatan di Inggris (NHS) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memulai penelitian untuk mempelajari efektifitas dari transfusi plasma sebagai metode pengobatan kasus-kasus kritis dari COVID-19. Dalam sebuah pernyataan, NHS mengatakan bahwa mereka membutuhkan orang-orang yang telah sembuh dari virus corona (COVID-19) untuk mendonorkan plasma darah mereka sebagai bagian dari trial klinis untuk membantu negara dalam melawan virus corona baru.
“Jika trial ini disetujui, kita akan mengetahui seberapa efektif metode transfusi plasma (dari orang-orang yang telah sembuh dari COVID-19) untuk mengobati pasien-pasien COVID-19.”
Dan ini bukan untuk pertama kalinya transfusi plasma darah dijadikan metode pengobatan suatu penyakit. Sebelumnya metode ini juga pernah digunakan pada wabah Ebola, SARS dan MERS. Untuk COVID-19, trial pengobatan ini masih dalam tahap awal, tetapi karena adanya tekanan pandemi yang sedang berlangsung, trial klinis metode ini akan dilakukan secepat mungkin. Dan hingga kini, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan efektivitas dari metode convalescent plasma bagi pengobatan COVID-19.