BAGIKAN
Pixabay

Melalui simulasi bagaimana ketika seseorang bersin dan batuk, para peneliti menguji seberapa efektif kinerja masker yang umum digunakan oleh masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa masker buatan sendiri yang terdiri dari beberapa lapisan kain katun quilting dan masker bergaya kerucut, terbukti paling efektif dalam mengurangi penyebaran tetesan.

Penelitian ini dikhususkan terhadap penggunaan masker berbahan kain yang paling banyak digunakan di masyarakat. Adapun berbagai penelitian yang sebelumnya telah dilakukan, hanya untuk menguji kinerja masker medis. Data-data tentang masker berbasis kain yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat umum masih jarang ditemukan.

Para peneliti dari Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Florida Atlantic University menerbitkan hasil penelitiannya di jurnal Physics of Fluids.

Para peneliti menggunakan visualisasi aliran dalam skala laboratorium menggunakan sinar laser dan campuran air suling dengan gliserin untuk menghasilkan aerosol buatan yang di dalamnya terdapat partikel semburan dari batuk. Mereka memvisualisasikan tetesan yang dikeluarkan dari mulut sebuah boneka sambil mensimulasikan batuk dan bersin.



Mereka menguji masker bandana satu lapis, masker buatan sendiri yang dijahit menggunakan dua lapis kain katun quilting yang terdiri dari 70 benang per inci, dan masker kerucut non-steril yang tersedia di sebagian besar apotek. Dengan mengenakan berbagai masker ini pada boneka, mereka dapat memetakan jalur tetesan dan menunjukkan seberapa besar perbedaannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masker yang terlipat longgar dan penutup gaya bandana memberikan kemampuan menghentikan paling minimal terhadap tetesan pernapasan aerosol terkecil. Masker buatan sendiri dengan beberapa lapisan kain quilting, dan masker gaya kerucut, terbukti paling efektif dalam mengurangi penyebaran tetesan. Masker ini mampu membatasi kecepatan dan jangkauan semburan pernafasan secara signifikan, meskipun dengan beberapa kebocoran melalui bahan masker dan dari celah kecil di sepanjang ujungnya.

Yang paling utama, batuk yang diemulasikan tanpa penutup mampu melakukan perjalanannya lebih jauh dari pedoman jarak 1,8 meter yang direkomendasikan saat ini. Tanpa masker, tetesan batuk dapat menempuh lebih dari 2,4 meter; dengan penutup bandana 1,07 meter; dengan saputangan katun yang dilipat, 0,38 meter; dengan masker kerucut tetesan-tetesan menempuh sekitar 0,20 meter, dan dengan masker katun berlapis perjalanannya hanya menempuh 0,06 meter.

Dengan saputangan berbahan katun yang dilipat, tetesan-tetesan menempuh perjalanan sejauh 0,38 mter. Credit: Florida Atlantic University, College of Engineering and Computer Science

“Selain memberikan indikasi awal tentang efektivitas peralatan pelindung, visualisasi yang digunakan dalam penelitian kami dapat membantu menyampaikan kepada masyarakat umum alasan di balik pedoman pembatasan sosial dan rekomendasi untuk menggunakan masker,” kata penulis utama Siddhartha Verma dari Florida Atlantic University.



Ketika boneka tidak dilengkapi dengan masker, mereka memproyeksikan tetesan yang lebih jauh dari pedoman jarak 1,8 meter yang saat ini direkomendasikan. Para peneliti mengamati tetesan dapat menempuh hingga 3,65 meter dalam waktu sekitar 50 detik. Selain itu, tetesan telah terlacak tetap bertahan di udara hingga tiga menit di dalam lingkungan statis. Pengamatan ini, dalam kombinasi dengan penelitian terbaru lainnya, menunjukkan bahwa pedoman pembatasan sosial saat ini mungkin perlu diperbarui untuk menjelaskan transmisi patogen berbasis aerosol.

Dengan masker katun berlapis, tetesan batuk dan bersin mencapai 2,5 inci. Credit: Florida Atlantic University, College of Engineering and Computer Science

“Kami menemukan bahwa meskipun semburan yang tidak terhalang telah diamati melakukan perjalanannya hingga 3,65 meter, sebagian besar tetesan yang terlontar jatuh ke tanah pada titik ini,” kata Dhanak. “Yang penting, baik jumlah maupun konsentrasi tetesannya akan berkurang seiring dengan bertambahnya jarak, yang merupakan alasan mendasar di balik jarak sosial.”

Patogen yang menyebabkan COVID-19 ditemukan terutama pada tetesan pernapasan yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi selama batuk, bersin, atau bahkan berbicara dan bernapas. Selain COVID-19, tetesan pernapasan juga merupakan cara utama penularan untuk berbagai penyakit virus dan bakteri lainnya, seperti flu biasa, influenza, tuberkulosis, SARS (Sindrom Pernapasan Akut Parah), dan MERS (Sindrom Pernafasan Timur Tengah), dan yang lainnya.

Patogen ini terselimuti di dalam tetesan pernapasan, yang dapat mendarat pada setiap orang yang sehat dan mengakibatkan penularan langsung, atau pada benda mati, yang dapat menyebabkan infeksi ketika seseorang yang sehat melakukan kontak dengannya.