Keberadaan materi gelap (dark matter) hingga saat ini tetap menjadi misteri. Materi gelap adalah istilah yang muncul akibat dari teori yang menyebutkan alam semesta ini sepertinya mengembang dengan kecepatan yang nyaris seimbang dengan kekuatan gravitasi yang dapat menghentikan ekspansi tersebut. Berdasarkan teori model standard (Big Bang) jumlah materi yang tampak di alam semesta (bintang, planet, asteroid, debu-debu nebula) tidaklah cukup untuk meperlambat kecepatan ekspansi alam semesta.
Jika mengikuti hukum gravitasi, dalam sebuah galaksi, bintang yang terdekat dengan pusat galaksi akan berotasi lebih cepat dari pada bintang yang berada jauh dari pusat galaksi. Tetapi, pada kenyataannya, hampir di semua galaksi, baik bintang terdekat maupun yang terjauh dari pusat galaksi, tetap berotasi pada kecepatan yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak terlihat yang menyelubungi galaksi yang bisa mendorong bintang terjauh untuk bergerak lebih cepat dari seharusnya. Sesuatu ini dikenal sebagai ‘materi gelap’, yang merupakan misteri yang yang belum bisa dipecahkan dalam ilmu kosmologi sejak tahun 1930-an. Disebut sebagai ‘materi’ karena mempunyai gaya tarik gravitasi, dan disebut ‘gelap’ karena tidak berinteraksi (terdeteksi) sama sekali dengan cahaya (atau dengan berbagai spektrum elekromagnetik).
Para ahli astrofisika juga memperkirakan bahwa karena materi gelap ini memiliki jumlah yang sangat besar, dengan efek gravitasinya dan tersebar merata di seluruh alam semesta sehingga dapat memperlambat kecepatan ekspansi alam semesta.
Para ahli kosmologi telah mengemukakan berbagai hipotesis dan teori untuk menjelaskan tentang materi gelap. Beberapa ahli meyakini bahwa materi gelap terdiri dari neutrino — partikel yang tidak memiliki berat tetapi memliki massa yang sangat kecil sehingga tidak berinteraksi dengan spektrum elektromagnetik, tetapi memiliki gaya gravitasi.
Para ahli lainnya berteori bahwa materi gelap adalah partikel-partikel yang disebut “weakly-interracting massive particles (WIMPs)” – partikel masif yang interaksinya lemah– atau “gravitationally-interacting massive particles (GIMPs)” — partikel masif yang berinteraksi yang memiliki gaya gravitasi — yang belum pernah terdeteksi hingga sekarang.
Ketika teori tentang big bang diajukan, dua ahli fisika Soviet, Yakov Barisovich zel’dovich dan Igor Dmitriyevich Novikov, mengajukan teori bahwa pada kejadian tersebut, dalam kepadatan yang sangat tinggi, terbentuklah lubang hitam yang berukuran kecil, yang kemudian dinamakan lubang hitam purba.
Stephen Hawking menyelidikinya pada tahun 1971 dan menghitung massa dari lubang hitam purba ini berkisar antara seratus milligram hingga lebih besar dari ribuan kali massa matahari.
Sebuah tim peneliti internasional termasuk Surhud More dan Anupreeta More dari Inter-University Centre for Astronomy and Astrophysics (IUCAA), Pune, tengah mepertimbangkan untuk membantah teori Stephen Hawking yang disampaikan tahun 1974 tentang keberadaan dari lubang hitam purba (primodial black holes), yang lahir tidak lama setelah peristiwa dentuman dahsyat ‘Big Bang’, dan spekulasinya yang menyebutkan bahwa materi gelap terbentuk dari lubang hitam purba tersebut. Penemuan terbaru mereka telah menyanggah teori yang diklaim oleh Stephen Hawking.
Tim peneliti kembali memperhitungkan secara teliti teori spekulasi dari Hawking, dan hasilnya mereka membantah kemungkinan bahwa lubang hitam purba yang berukuran lebih kecil dari 10 milimeter merupakan pembentuk materi gelap. Hasil studi mereka secara detail telah dipublikasikan di Nature Astronomy.
Seperti yang telah diketahui oleh para ilmuwan bahwa 85% dari materi yang ada di alam semesta terdiri dari materi gelap. Kekuatan gravitasinya-lah yang mencegah bintang-bintang yang ada di galaksi Bima Sakti kita untuk bergerak menjauh dari pusat galaksinya. Tetapi, eksperimen untuk mendeteksi keberadaan materi gelap ini belum pernah ada yang berhasil, termasuk berbagai eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan akselerator terbesar di dunia the Large Hadren Collider yang dibangun oleh CERN.
Para peneliti yang dipimpin oleh Masahiro Takada, Hiroko Niikura, dari Kavli Institute for the Physics and Mathematics of The Universe, serta beberapa peneliti lainnya dari Jepang, India dan AS, telah menggunakan efek pelensaan gravitasi untuk mencari keberadaan lubang hitam purba antara Bumi hingga galaksi Andromeda. Pelensaan gravitasi adalah efek yang pertama kali dikemukakan oleh Albert Einstein, dimana objek-objek yang masif, seperti galaksi, bintang, atau bahkan planet, melengkungkan bentuk ruangnya sendiri, yang berarti juga membelokkan cahaya yang melintasi ruang yang melengkung. Jika mereka membelokkan sebuah sinar cahaya dengan cara yang tepat, maka mereka benar-benar bertindak sebagai pembesar cahaya di belakangnya, bertindak sebagai kaca pembesar raksasa.
Para peneliti di Kavli Institute menggunakan teleskop Subaru untuk mengamati galaksi Andromeda seperti pada gambar di atas, sebuah bintang yang berada di galaksi Andromeda akan terlihat sangat terang jika sebuah lubang hitam purba lewat di depan bintang tersebut. Dan ketika lubang hitam purba ini bergerak menjauhi dari lintasannya, maka bintang tersebut akan terlihat meredup (kembali seperti cahaya asalnya).
Sebuah pengamatan yang telah dilakukan oleh ‘ESO Very Large Telescope’ untuk pertama kalinya mengungkapkan efek yang diprediksi oleh relativitas umum Einstein pada gerakan bintang yang melewati medan gravitasi ekstrim di sekitar lubang hitam supermasif di pusat Bima Sakti. Hasil yang telah lama dicari ini mewakili klimaks dari perjalanan pengamatan selama 26 tahun menggunakan teleskop ESO di Chili, seperti gambar di bawah ini sebagai penggunaan efek pelensaan gravitasi untuk pertama kalinya.
Untuk memperoleh efek pelensaan gravitasi ini tidaklah mudah, karena diperlukan sebuah bintang di galaksi Andromeda, sebuah lubang hitam purba yang berfungsi sebagai lensa gravitasi dan pengamat di Bumi dalam satu garis sejajar. Untuk memaksimalkan kesempatan menangkap peristiwa ini, para peneliti menggunakan Hyper Suprime-Cam digital Camera pada teleskop Subaru di Hawaii mereka, yang bisa menangkap keseluruhan gambar dari galaksi Andromeda dalam satu kali pengambilan gambar. Untuk memperhitungkan seberapa cepat lubang hitam purba bergerak melintasi angkasa raya, tim peneliti mengambil berbagai gambar dalam jumlah yang banyak untuk bisa menangkap kerlip cahaya dari sebuah bintang, untuk mengamati apakah ada perbedaan kekuatan cahayanya selama beberapa menit hingga beberapa jam yang disebabkan oleh efek pelensaan gravitasi yang dapat menunjukkan kehadiran lubang hitam purba tersebut.
Dari 190 buah gambar yang diperoleh secara berturut-turut dari galaksi Andromeda selama lebih dari tujuh jam pada sebuah malam yang cerah, tim peneliti memeriksa dengan teliti untuk mendapatkan data dari peristiwa pelensaan gravitasi. Jika alam semesta terisi oleh banyak lubang hitam purba yang berukuran sangat kecil – dengan massa lebih ringan dari bulan, seperti yang dinyatakan oleh Hawking – para peneliti memperkirakan bisa menemukan setidaknya 1000 buah peristiwa. Tetapi setelah melakukan analisa yang seangat teliti, mereka hanya bisa menemukan satu peristiwa pelensaan gravitasi saja. Para peneliti menyimpulkan bahwa lubang hitam purba hanya berkontribusi tidak lebih dari 0,1 persen dari keseluruhan materi gelap. Sehingga teori Hawking disini telah terbantahkan.
Para peneliti sekarang ini merencanakan untuk menganalisa galaksi Andromeda lebih jauh. Satu teori baru yang akan mereka selidiki adalah untuk mengungkap apakah lubang hitam yang berpasangan yang ditemukan oleh detektor gelombang gravitasi LIGO adalah sebuah lubang hitam purba.
Sumber : Down to earth.org, Daily Galaxy, Iflscience