BAGIKAN
(Josh Gordon/Unsplash)

Para astronom menyepakati bahwa usia alam semesta berusia 13,77 miliar tahun. Di mana sebuah pengamatan sebelumnya berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pengukuran satelit Planck. Melalui Teleskop Kosmologi Atacama (ACT) di sebuah observatorium yang terletak di Gurun Atacama Chili, para peneliti melakukan pengamatannya. Dan melihat cahaya tertua di semesta.

Pengamatan menggunakan teleskop biasa, melihat bahwa seluruh semesta diselimuti kegelapan yang menjadi latar belakangnya. Namun saat pengamatan menggunakan teleskop radio, kegelapan ini sebenarnya tampak menyala di segala arah yang menandakan radiasi termal. Dan radiasi yang sangat panas ini, merupakan jejak-jejak yang tersisa dari peristiwa Big Bang sejak pembentukan semesta awal. Latar belakang kosmik ini, disebut sebagai cosmic microwave background radiation (CMB).

Di tahun 2009 hingga 2013, satelit Planck milik Badan Antariksa Eropa (ESA) melakukan pemetaan terhadap latar belakang kosmik ini. Di mana tingkat sensitivitas dan resolusinya jauh lebih baik dari dua pengamatan sebelumnya. Dari perhitungannya, mereka menetapkan model alam semesta terbaru yang berusia 13,82 miliar tahun.

Pada tahun 2019, sebuah tim peneliti yang mengukur pergerakan galaksi menghitung bahwa alam semesta berusia lebih muda ratusan juta tahun dibandingkan perkiraan tim Planck. Perbedaan ini menimbulkan kekawatiran. Di antara kedua pengukuran, salah satunya kemungkinan salah. Hal ini menunjukkan bahwa model baru untuk alam semesta diperlukan.

Seorang peneliti Universitas Cornell ikut menulis salah satu dari dua makalah tentang temuan tersebut. Ia menambahkan twist baru pada debat yang sedang berlangsung di komunitas astrofisika.

Perkiraan terbaru ini, menggunakan data-data yang dikumpulkan oleh Teleskop Kosmologi Atacama dari National Science Foundation. Di mana terdapat kecocokan dengan yang diberikan oleh model standar alam semesta. Serta pengukuran cahaya yang sama yang telah diukir oleh satelit Planck.

“Sekarang kami telah menemukan jawaban di mana Planck dan ACT talah sepakat. Ini menunjukkan fakta bahwa pengukuran yang sulit ini dapat diandalkan.” kata Simone Aiola, seorang peneliti di Pusat Astrofisika Komputasi Institut Flatiron dan penulis utama salah satu dari dua penelitian.

Sementara penelitian ini, dipimpin Steve Choi dari Cornell University. Mereka telah mempublikasikan hasil studi ini di Journal of Cosmology and Astroparticle Physics.