BAGIKAN
Credit: CC0 Public Domain

Para peneliti di MIT telah mengembangkan cara untuk mengubah sinyal wifi menjadi energi listrik yang dapat digunakan untuk berbagai peralatan yang selalu bergantung pada penggunaan baterai seperti ponsel, laptop dan peralatan elektronika lainnya.

Meskipun Nicola Tesla telah memperkenalkan dan mendemonstrasikan sebuah konsep pengiriman daya secara nirkabel lebih dari 100 tahun yang lalu, namun William C. Brown, di tahun 1960 telah menemukan sejenis antena penerima khusus yang digunakan untuk mengubah energi gelombang elektromagnetik (AC) menjadi listrik arus searah (DC) yang disebut sebagai ‘rectenna’.

Kini, para peneliti mendemonstrasikan jenis terbaru dari rectenna menggunakan antena frekuensi radio (RF) yang fleksibel yang dapat menangkap gelombang elektromagnetik – termasuk yang membawa sinyal Wi-Fi – dalam bentuk gelombang listrik AC.

Penelitian mereka secara lebih terperinci telah dipublikasikan di jurnal Nature.

Antena tersebut kemudian dihubungkan ke dalam sebuah perangkat baru yang terbuat dari bahan semikonduktor dua dimensi yang tebalnya hanya beberapa atom saja. Sinyal AC yang bergerak menuju semikonduktor, selanjutnya diubah menjadi tegangan DC yang dapat digunakan untuk memberi daya pada sirkuit elektronik atau mengisi ulang baterai.

Dengan cara ini, peralatan tanpa baterai secara pasif menangkap dan mengubah sinyal Wi-Fi yang berada di sekitar menjadi daya DC yang bermanfaat. Selain itu, perangkat ini fleksibel dan dapat dibuat dalam pemrosesan roll-to-roll untuk mencakup area yang sangat besar.

“Kami telah menemukan cara baru untuk memberi daya pada sistem elektronik masa depan – dengan memanen energi Wi-Fi dengan cara yang mudah diintegrasikan di area yang luas – untuk menghadirkan kecerdasan ke setiap objek di sekitar kita.” Kata rekan penulis makalah Tomás Palacios, di Departemen Teknik Elektro dan Ilmu Komputer MIT.

(Zhang et al./Nature)

Dalam sebuah percobaan, perangkat peneliti dapat menghasilkan sekitar 40 microwatt daya ketika terpapar sinyal Wi-Fi dengan kekuatan yang khas sekitar 150 mikrowatt. Lebih dari cukup  untuk sekadar menyalakan lampu LED atau menggerakkan chip silikon.

Aplikasi lain yang mungkin adalah memperkuat komunikasi data dari sebuah perangkat medis implan, kata rekan penulis Jesús Grajal, seorang peneliti di Technical University of Madrid. Sebagai contoh, para peneliti mulai mengembangkan pil yang dapat ditelan oleh pasien dan dapat memberikan data kesehatannya dari dalam tubuh menuju peralatan komputer untuk didiagnosa.

“Idealnya Anda tidak ingin menggunakan baterai untuk memberi daya pada sistem ini, karena jika terjadi kebocoran pada lithium, pasien bisa mati,” kata Grajal. “Adalah jauh lebih baik untuk memanen energi dari lingkungan untuk menyalakan laboratorium kecil ini di dalam tubuh dan mengkomunikasikan data menuju komputer eksternal.”

Rectenna sangat bergantung pada komponen yang dikenal sebagai “penyearah,” yang mengubah sinyal input AC menjadi daya DC.

Para peneliti menggunakan bahan 2-D yang disebut molybdenum disulfide (MoS2) untuk membuat penyearahnya, di mana bahan ini merupakan semikonduktor tertipis di dunia yang bisa menghasilkan struktur yang dikenal sebagai dioda Schottky, yang merupakan persimpangan antara bahan semikonduktor dengan logam.

“Desain seperti itu memungkinkan perangkat sepenuhnya fleksibel yang cukup cepat untuk meliputi sebagian besar pita frekuensi radio yang digunakan oleh peralatan elektronik sehari-hari kita, termasuk Wi-Fi, Bluetooth, LTE seluler, dan banyak lainnya,” kata Zhang.

Pekerjaan yang dilaporkan menyediakan cetak biru untuk perangkat Wi-Fi menjadi listrik fleksibel lainnya dengan output dan efisiensi yang substansial. Efisiensi output maksimum untuk perangkat saat ini adalah 40 persen, tergantung pada daya input dari Wi-Fi. Pada tingkat daya Wi-Fi pada umumnya, efisiensi daya dari penyearah MoS2 adalah sekitar 30 persen. Sebagai referensi, rectenna yang saat ini tengah digunakan terbuat dari silikon atau gallium arsenide yang kaku, lebih boros sekitar 50 hingga 60 persen.