BAGIKAN

Warga Jakarta memperingati ulang tahun kotanya setiap 22 Juni ketika Jayakarta berhasil mengusir Portugis pada 1527. Belanda justru memperingatinya tiap 29 Mei ketika pada 1619 mereka menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halamannya di Belanda. Lengkap dengan kanal, jembatan tarik, kanopi susun, sebuah gereja, dan perlengkapan kota lainnya.

Batavia berasal dari nama Batavier, sebuah kawasan di Betuwe, Provinsi Gerderland, daerah pertanian di Belanda. Pada tahap awal, Batavia dengan keindahan kota yang dihiasi oleh pohon-pohon yang rindang, bangunan cukup bagus di kanan kiri jalan dan kanal-kanal, menjadikannya sebagai kota impian.

Sampai awal abad ke-18, Batavia bagaikan “Ratu dari Timur”, ungkapan untuk kota yang indah. Bahkan, pada masa itu muncul beberapa istilah untuk menyebut keindahan kota, di antaranya “Venesia dari Timur”. Masa jaya mengalami kemunduran ketika Batavia terkena wabah penyakit akibat kota yang kumuh.

Di antara penyebab hancurnya ekologi kota akibat genangan air yang terjadi di mana-mana sehingga menimbulkan penyakit. Ratu dari Timur bagaikan reruntuhan gua yang berpenyakit. Kota menjadi kumuh karena air yang mengalir ke kanal-kanal menggenang dan tidak bisa mengalir secara gravitasi ke laut akibat terjadi genangan di kota.

Pudarnya Pesona ‘Ratu dari Timur’

Meletusnya Gunung Salak pada 1699 mengakibatkan hancurnya peradaban pada masa awal Batavia. Sebutan Batavia yang muluk-muluk pun beralih menjadi “kuburan orang Belanda”. Sudah merupakan hal biasa kawan yang sehari sebelumnya makan atau berbincang bersama kita, keesokan harinya sudah akan dimakamkan.

Pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), dia pun memindahkan kota ke arah selatan yang dinamakan Weltevreden (daerah lebih nyaman). Terletak di sekitar Lapangan Besar (Monas) dan Lapangan Kecil (Banteng), termasuk Istana Daendels (kini Kementerian Keuangan), Klub Concordia (juga bagian Kemenkeu), dan Gereja Katolik Roma. Sementara, kota lama yang ditinggalkan tumbuh sebagai kawasan bisnis terdiri dari perkantoran perusahaan dan firma.

Nama-nama tempat Direktorat Geografi Sejarah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah menerbitkan buku Toponim Jakarta dan Kepulauan Seribu. Disebutkan, sejumlah tanah partikelir, seperti Kwitang milik keluarga Alkaff, Kemayoran milik seorang mayor Cina, dan banyak lagi yang terkait dengan pemilikan pribadi. Yang kemudian dibeli oleh kotapraja secara bertahap.

Tahap selanjutnya adalah ketika perluasan kota ke daerah perkebunan, baik sayuran maupun buah-buahan, seperti Kebon Kacang, Kebon Jahe, Kebon Kopi, dan masih banyak lagi. Selain itu, juga dikenal penamaan kampung atau daerah yang berkaitan dengan asal usul penghuninya, misalnya Kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Makassar, dan seterusnya.

Sejarah Penamaan Tempat di Jakarta

Ada juga nama-nama yang berkaitan dengan pembentukan tanah alami dataran tinggi. Di Jakarta tidak ada gunung, bahkan batas ketinggian tidak lebih dari 100 meter melintang dari barat ke timur, tetapi nama gunung digunakan untuk menyebut beberapa tempat, seperti Kampung Gunung di Kebayoran Baru.

Selain itu, dikenal istilah bukit, yaitu Tanah Abang Bukit dan Bukit Duri di Manggarai. Nama-nama kampung atau wilayah yang berkaitan dengan dataran rendah juga dikenal.

Seperti penggunaan nama “tegal” yang dalam bahasa Jawa dan Sunda mengacu pada daerah dataran rendah yang tidak ditanami, misalnya, Tegalalur, Tegalangus.

Ada pula tipologi penamaan yang berkaitan dengan rawa dan pulo. Istilah rawa mengacu pada danau yang berawa-rawa, seperti Rawasari, Rawaboni, dan Rawabadak. Sedangkan, istilah pulo merujuk pada daerah kering persis di atas air, seperti Pulogadung, Pulomas, dan Puloluyu.

Tipologi Penamaan Daerah

Jangan heran juga ada tipologi penamaan yang berkaitan dengan tanjung dan teluk, seperti Tanjung Priok dan Tanjung Barat.

Pun, yang terkait dengan kali atau kanal. Istilah umum untuk kali dan kanal adalah ci (yang merupakan bentuk terikat berhubungan dengan kata dalam Sunda, yaitu cai, yang berarti air atau kali (bahasa Jawa).

Dalam beberapa kasus penamaan ci dan kali tidak konsisten. Di wilayah selatan Jakarta ditemukan nama Ciliwung, Cikarang, dan Citarum, tetapi di bagian utara tidak ditemukan wilayah dengan awalan ci.

Justru yang muncul adalah Kali Angke, Kali Duren, Kali Sunter. Suatu kajian yang sangat menarik untuk dicermati.

 

Menggunakan Nama-Nama Flora dan Fauna

Lebih perinci lagi, ada tipologi penamaan yang berkaitan dengan kolam, danau, sumur, dan tanah. Di Jakarta dikenal berbagai  istilah umum, seperti situ dan setu.

Seperti Kampung Setu, Situ Gintung, dan Situ Babakan. Masih berkaitan dengan penampungan air, di Jakarta dikenal nama Kampung Sumur Batu dan Pancoran yang artinya kurang lebih sama, yakni tempat mengumpulkan air.

Penamaan wilayah dengan nama tanah juga dikenal di Jakarta. Hal ini dapat ditemukan nama wilayah yang menggunakan istilah karang, seperti Karang Anyar dan  Karang Sambung. Istilah yang tidak ditemukan di kamus adalah sempur yang berarti kayu yang membatu.

Tipologi persamaan yang berkaitan dengan tumbuhan (flora) yang banyak digunakan untuk nama wilayah. Di antaranya gambir, cabe, pete, ketapang, menteng, bidaracina, aren, asam, manggis, mangga, jeruk, keladi, jagung, nangka, pinang, kelapa, sampai kemiri.

Nama-nama yang berkaitan dengan bunga, di antaranya bluntas, kemuning, kemboja, cempaka, bungur, kedoya agawe, kedoya akasia, rengas, jati, bambu, dan sebagainya. Tampak pada penamaan wilayah Kebun Jeruk, Asembaris, Bidaracina, Menteng, Gambir, Jati Petamburan, Pondok Aren, dan Pondok Cabe.

Tentu, masih banyak lagi tipologi penamaan Kota Jakarta, termasuk berkaitan dengan nama hewan (fauna).