BAGIKAN

Ada sesuatu yang tak dapat disangkal, bagaimana Meera Phillips memperhatikan dengan lekat saat Anda berbicara. Seolah-olah kata-kata Anda akan menjadi sebuah permasalahan, baik itu suatu pembicaraan yang konyol maupun hal yang serius.

Gadis berusia 15 tahun itu mengerti betapa pentingnya mendengar apa yang orang lain sampaikan, karena dia sudah terbiasa tidak didengarkan oleh orang lain.

Meera adalah seorang nonverbal, hidup dengan kondisi langka yang disebut schizencephaly yang mempengaruhi kemampuannya untuk berbicara . Tapi dengan bantuan teknologi iPad dan text-to-speech-nya, dia bisa membuat pikiran dan pendapatnya dengan mudah dapat diketahui sebagaimana orang normal mengungkapkan segala pikiran lewat suara perkataan. Dan yang terpenting Meera yakin melakukannya. Dari kecintaannya pada Katy Perry dan hasratnya  pada sepak bola, Meera akan membiarkan Anda tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. Yang dibutuhkan hanyalah beberapa sentuhan pada tabletnya, dan dengan sebuah aplikasi khusus yang sanggup merangkai huruf menjadi kata-kata, kata-kata menjadi sebuah ungkapan. Pikirannya dirubah menjadi sebuah suara melalui aplikasi tersebut.

Sekarang orang tahu saya  banyak bicara, mereka tahu saya pintar, mereka mengenal saya, mereka melihat saya sekarang sebagai Meera.

Hubungan Meera dengan teknologi hanyalah satu dari tujuh cerita yang ditampilkan dalam serial video mengagumkan yang diciptakan oleh Apple untuk menyoroti dedikasi perusahaan terkait teknologi kemudahan akses. Video tersebut dirilis dalam perayaan Hari Kesadaran Aksesibilitas Global pada tanggal 18 Mei, hari yang menekankan pentingnya teknologi dan desain yang mudah diakses.

“Kami melihat aksesibilitas sebagai hak asasi manusia,” kata Sarah Herrlinger, manajer senior untuk kebijakan dan inisiatif aksesibilitas global di Apple. “Kami ingin semakin banyak orang di luar sana untuk tidak hanya melihat pekerjaan yang sedang kami lakukan, tapi menyadari pentingnya aksesibilitas secara umum.”

Video tersebut menampilkan pengguna dengan berbagai identitas dan pengalaman disabilitas – mulai dari Carlos Vasquez, seorang drummer metal tuna netra, hingga Shane Rakowski, seorang guru musik dengan gangguan pendengaran.

Dan kemudian ada Meera yang tegar, yang suka bergosip dan cekikikan dengan teman-temannya di sisi lapangan sepak bola. Selalu menggunakan iPad-nya dan aplikasi text-to-speech untuk melakukan semua itu. Suara alaminya hanya bisa memaksa kata-kata pendek seperti “tidak” dan “iya.” Sementara Meera tahu bahasa isyarat, mayoritas teman-temannya tidak.

Meskipun sekarang dia memiliki teknologi yang sesuai untuknya, Meera butuh waktu lama untuk menemukan cara untuk mengekspresikan dirinya. Bahkan, disaat 10 tahun yang lalu, mendapatkan akses teknologi bantu pun tidak mungkin untuk dilakukan.

Meera lahir di India, tinggal di jalanan New Delhi sampai dia diadopsi oleh ibunya pada usia 5 tahun. Dia adalah orang nonverbal dan tunawisma sejak lahir, yang berarti dia tidak mengenyam pendidikan dan sedikit cara untuk berkomunikasi.

Tapi melalui teknologi kemudahan akses, seiring dengan pembelajaran bahasa dan bahasa isyarat, Meera telah mendapatkan banyak cara untuk dapat berkomunikasi.

“Sekarang orang tahu saya banyak bicara,” kata Meera, yang sekarang tinggal di Atlanta bersama ibu dan adik laki-lakinya, Tucker. “Mereka tahu saya pintar Mereka mengenal saya Mereka melihat saya sekarang sebagai Meera – teman mereka, murid mereka, tetangga mereka, mereka tahu saya memiliki pendapat dan gagasan yang bagus.”

Fitur aksesibilitas hadir standar pada setiap produk Apple, memenuhi kebutuhan para pengguna yang berada di luar batas. Sesuatu yang tak ada bandingannya dalam dunia industri teknologi mainstream, menjadikan perusahaan Apple sebagai favorit bagi kaum disabilitas.

“Tidak hanya ada satu fitur yang mencakup ‘aksesibilitas,'” Herrlinger mengatakan. “Benar-benar ada sebuah kedalaman makna dan luasnya arti dari kata ‘aksesibilitas’.”

Ketika saya bertanya kepada Meera melalui obrolan video bagaimana rasanya bisa berkomunikasi melalui iPad-nya, dia mengetuk jawaban di keyboard tabletnya, huruf demi huruf dirangkai. Setelah selesai, dia memainkannya melalui suara robot: “Semua Itu membuat saya merasa bahagia dan cerdas.”

“Kamu pintar,” kata ibu Meera, Carolyn Phillips, setelah mendengar jawabannya. Dan memang benar seperti itu adanya.

Suatu ketika, misalnya, Carolyn memasuki rumah untuk mendengar keluarga Amazon Echo secara misterius menggelegar album terbaru Taylor Swift. Carolyn mengenal Meera, satu-satunya orang di rumah pada saat itu, tidak dapat berbicara dengan Echo untuk mengaktifkan Alexa. Yakin speakernya ada di fritz, Carolyn mematikan nada Taylor.

Tapi beberapa menit kemudian, lagu-lagu Swift semakin membahana. Carolyn kemudian menyadari bahwa Meera telah meretas sistem, menghubungkan Echo ke iPad-nya agar sesuai dengan perintahnya. Dengan membuat dua bagian “pembicaraan” satu sama lain, dia bisa memainkan Taylor Swift di volume tinggi setiap kali dia menginginkannya.

Fitur yang ada di masing-masing perangkat Apple, Herrlinger mengatakan, memungkinkan orang-orang disabilitas menyesuaikan perangkat mereka sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri – walaupun salah satu dari fasilitas tersebut adalah pemicu “Blank Spaces”.