BAGIKAN

Para arkeolog telah menemukan berbagai peristiwa mengerikan yang telah menimpa manusia. Melalui berbagai peninggalan yang masih teridentifikasi, para ahli dapat merekontruksi kembali berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Berikut ini, adalah beberapa temuan yang telah berhasil didokumentasikan oleh mereka.

Ceceran otak yang mengeras 

Benda ini sebenarnya adalah bagian dari otak manusia yang meledak akibat efek gelombang panas yang sangat dahsyat dari letusan Gunung Vesuvius Italia pada tahun 79 Masehi.

Pada awalnya, para arkeolog menemukan sisa-sisa jenazah manusia yang terbaring di atas ranjang kayu dan terselimuti oleh lapisan abu vulkanik di reruntuhan Herculaneum. Setelah bertahun-tahun mempelajari isi tengkorak dari jenazah, para peneliti menemukan potongan hitam mengkilap seperti kaca yang berkilau.

Analisis lebih lanjut menegaskan bahwa benda itu memang mengandung sedikit protein dan asam lemak dari rambut dan jaringan otak. Dan, tidak ada jejak material kaca serupa di tempat lain pada tubuh atau di sekitar lokasi.

Akibat terpapar suhu panas yang sangat tinggi, jaringan otak dapat mengalami perubahan menjadi kaca yang disebut vitrifikasi.

Kerangka Pompei yang tertimpa batu

Para arkeolog menemukan kerangka tanpa kepala seorang pria yang terhimpit tak berdaya oleh sebuah batu seberat 300 kilogram. Mungkin batu ini telah menghantam kepalanya dengan kekuatan yang sangat luar biasa. Lalu membuat kepalanya terlepas dari tubuhnya dan terpental entah ke mana.

Korban, adalah seorang pria berusia di atas 30 tahun. Mungkin ia sedang mencoba melarikan diri dari ledakan vulkanik yang ganas. Pada sekitar jarak 8 kilometer, letusan Vesuvius akan mengirimkan rentetan gelombang kejut seismik dan gelombang piroklastik melewati Herculaneum hingga Pompeii.

Pengorbanan anak-anak terbesar sepanjang sejarah

[National Geographic]

Detail dari pembantaian tersebut sangat mengerikan. Anak-anak yang dipersembahkan sebagai korban, kebanyakan berkisar dari umur sekitar delapan hingga dua belas tahun. Sebagai bagian dari ritual, wajah mereka diolesi oleh sejenis pigmen merah. Kerangkanya menunjukkan tanda-tanda mutilasi, termasuk tulang dada yang rusak dan torehan mendalam yang memotong tulang rusuk. Tampaknya dada anak-anak dibelah hingga terbuka dan tulang rusuknya dilepaskan untuk mengambil jantung mereka.

Dari jejak kaki yang masih tertinggal, sepertinya anak-anak dan llama dipimpin dalam sebuah barisan dan dikorbankan satu demi satu. Bahkan ada jejak-jejak terselip di sedimen yang menunjukkan tempat-tempat di mana para korban enggan untuk berpartisipasi. Mungkin mereka sebenarnya menolak untuk diikutsertakan namun dipaksa.

Bersama dengan peninggalan jasad anak-anak, para arkeolog menemukan tubuh seorang pria dan dua wanita di dekat tempat persembahan. Para peneliti berpikir orang dewasa tersebut mungkin seorang algojo yang telah melakukan pembunuhan dalam ritual tersebut, lalu akhirnya turut dieksekusi setelah upacara selesai.

Mengorbankan Anak Agar Terhantam Petir di Atas Gunung

Jasad anak-anak dibungkus kain. Foto: D. Socha

Sekitar 500 tahun yang lalu, suku Inca mengorbankan anak-anak dalam sebuah ritual yang disebut capacocha dengan membiarkan korban anak-anak dengan sengaja agar dapat tersambar oleh petir.

Bukti-bukti yang masih tertinggal di gigi, menunjukkan bahwa perubahan yang terlihat dalam struktur enamel seorang anak perempuan yang dijadikan korban sepertinya pernah mengalami kelaparan. Itu artinya bahwa korban dibiarkan hidup-hidup di atas ketinggian sebuah gunung hingga tersambar petir. Bisa juga bukti itu sebagai akibat dari alasan lain seperti stres yang akut.

Peneliti menjelaskan bahwa suku Inca mendirikan platform pengorbanan di tempat-tempat yang strategis untuk terkena sambaran petir. Ada banyak indikasi bahwa petir akan menyerang platform berulang kali. Itulah sebabnya jaringan lunak dari jasad berikut pakaian yang dikenakan anak-anak pada saat kematiannya tidak dapat bertahan lama.

Konsep sambaran petir juga didukung oleh fakta bahwa tanah di sekitar sisa-sisa jasad telah mengkristal.

Hukuman Mutilasi Wajah Pada Seorang Gadis

(G. Cole/Copyright Antiquity Publications Ltd.)

Dari analisis yang dilakukan terhadap tengkorak seorang gadis, ditemukan bukti adanya mutilasi secara sengaja terhadap sebagian wajah hingga ia menemui ajalnya. Hidung dan bibirnya dipotong dan kepalanya dikuliti. Peristiwa mengerikan ini dierkirakan terjadi di sekitar 1.100 tahun yang lalu di Anglo-Saxon, Inggris.

Perlakuan sadis seperti itu biasanya tercatat sebagai hukuman terhadap seorang wanita yang dianggap telah membangkang, di masa lalu. Meskipun demikian, penyebab sebenarnya mutilasi wajah gadis ini tidak diketahui secara pasti.

“Jika luka-luka wanita ini memang disebabkan oleh sebuah hukuman, mungkin ini adalah bukti pertama yang tercatat di Anglo-Saxon, Inggris, yang menerima sebuah hukuman sadis dengan melakukan mutilasi di sebagian wajahnya” tulis para peneliti dalam laporannya yang telah dipublikasikan di jurnal Antiquity.

Melansir Livescience, Garrard Cole, pemimpin penelitian dari institute of Archeology di University College London mengatakan bahwa mereka hanya bisa berspekulasi atas apa yang terjadi pada gadis muda tersebut. Namun, berdasarkan dari bentuk lukanya, diperkirakan suatu hukuman telah diberikan kepadanya akibat perbuatan tertentu. Seperti penyimpangan seksual, atau setidaknya tindakan yang mengarah pada hal tersebut.

Tengkorak ini pertama kali ditemukan pada tahun 1960an, dalam sebuah penggalian yang sebelumnya ditujukan untuk pembangunan sebuah perumahan di wilayah pedesaan Oakridge, di Southern Country of Hampshire, Inggris.

Namun, para ilmuwan pada saat itu tidak melakukan analisa pada tengkorak tersebut, dan masih belum diketahui dengan pasti apakah sisa-sisa tubuhnya yang lain juga dikuburkan di sana.

Beberapa tes yang dilakukan berhasil mengungkap beberapa petunjuk tentang individual dibalik tengkorak ini: Sebuah analisis anatomi mengindikasikan tengkorak ini milik seseorang yang berusia 15-18 tahun; hasil analisis DNA menunjukkan bahwa individual tersebut berjenis kelamin wanita; hasil penanggalan karbon menunjukkan bahwa anak remaja wanita ini hidup pada tahun 776 – 899 masehi; dan hasil analisis dari isotop dari unsur-unsur lainnya yang ditemukan pada giginya menunjukkan bahwa gadis remaja ini tidak tumbuh di wilayah dimana terdapat gunung-gunung kapur, artinya dia tidak terlahir atau dibesarkan di sebagian besar wilayah bagian pusat dan tenggara Inggris. (Unsur-unsur ditemukan pada air minum dan makanan yang akhirnya mengendap di gigi).

(G. Cole/Copyright Antiquity Publications Ltd)

Keterangan:

Penampakan trauma dari dekat yang ditemukan pada tengkorak seroang gadis remaja. Yaitu: (a) tanda pemotongan dengan terbukanya saluran hidung (nasal) yang terbuka, (b) tanda pemotongan pada bagian depan hidung, (c) dari panampakan dari atas (d) bagian rahang, dan (f) sebuah torehan tajam pada bagian sisi kanan dari tengkorak.

Supaya tidak hidup lagi, mayat dimutilasi setelah kematiannya

[S.Mays]
Selama berabad-abad, sekelompok masyarakat di Inggris mengkhawatirkan tentang kebangkitan mayat dari kuburan yang akan menyengsarakan orang-orang yang masih hidup.

Di masa sekarang, para arkeolog di Inggris telah menemukan bukti sebuah metode penguburan di abad pertengahan untuk mencegah mayat bangkit dari kuburan.Para peneliti mengunjungi kembali deretan peninggalan manusia yang telah digali di Wharram Percy, sebuah desa yang telah ditinggalkan sejak hampir 1.000 tahun lalu yang terletak di North Yorkshire.

Mayat-mayat itu telah dibakar dan dimutilasi setelah kematian, dan para arkeolog menawarkan dua penjelasan yang memungkinkan: apakah kondisi mayat itu disebabkan oleh kanibalisme, atau untuk memastikan mereka tidak akan berjalan dari kuburan mereka, menurut penelitian yang diterbitkan di Journal of Archaeological Science: Reports.

Pemimpin studi Simon Mays, seorang ahli biologi kerangka manusia di Historic England, mengatakan bahwa tulang-tulang itu “adalah peninggalan mayat yang dibakar dan dipotong-potong untuk menghindari mereka berjalan dari kuburannya, tampaknya sesuai dengan bukti terbaik.

Orang-orang pada saat itu percaya bahwa reanimasi – kembali hidup – dapat terjadi ketika seseorang yang mengalami kematian secara tidak wajar dikarenakan perlakuan jahat, atau ketika seseorang mengalami kematiannya secara mendadak atau dikarenakan kekerasan.

Agar mayat-mayat ini tidak mengganggu dan menghantui, teks-teks abad pertengahan Inggris menunjukkan bahwa kuburannya akan digali. Lalu mayat-mayatnya dimutilasi dan dibakar.

Mayat dibakar ketika daging masih membungkus tulang mereka. Para ilmuwan juga menemukan tanda-tanda potongan yang konsisten dan menunjukkan bahwa kerangka itu dipenggal setelah kematian.

Seorang uskup Kekaisaran Romawi Suci, Burchard of Worms, menulis sekitar 1000 SM, “menyinggung fakta bahwa anak-anak yang meninggal sebelum dibaptis, atau wanita yang meninggal saat melahirkan, diyakini bisa hidup lagi setelah kematiannya dan perlu dipaku’”.

Dari abad ke-14 seorang penulis sejarah Bohemian Neplach dari Opatovice, menuliskan di mana mayat berjalan perempuan harus dikremasi. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa mayat perempuan bisa kembali hidup memang pernah diyakini di Inggris.