BAGIKAN

Dari keseluruhan umat muslim dunia yang diperkirakan berjumlah 1,8 milyar orang–sekitar seperempat populasi dunia—sekitar 2,3 juta orang (data tahun 2019) melakukan perjalanan ke kota Mekah, Arab Saudi, untuk melakukan ibadah yang setidaknya harus dilakukan sekali seumur hidup, jika sehat dan mampu secara finansial. Ritual ini, yang dikenal dengan ibadah haji, salah satu nya adalah melakukan aktifitas setidaknya 20 hingga 30 jam ibadah yang dilakukan di udara terbuka.

Menurut sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari MIT, California, karena pengaruh terjadinya perubahan iklim global, ada kemungkinan peningkatan resiko pada tahun-tahun mendatang, karena kondisi panas dan kelembaban di Saudi Arabia, tempat ritual haji dilakukan, akan terus memburuk, hingga pada titik dimana seseorang akan menghadapi kondisi yang sangat membahayakan kondisi kesehatannya.

Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Review Letters, Elfatih Eltahir, seorang Professor bidang tehnik sipil dan lingkungan beserta dua orang rekannya melaporkan penemuan mereka, dimana ditunjukkan bahwa resiko yang akan dihadapi oleh para jemaah haji semakin serius dari tahun ke tahun, khususnya ketika ibadah haji –yang dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda tiap tahun—dilakukan pada masa-masa musim panas yang terpanas, yang akan terjadi pada tahun 2047-2052 dan dari tahun 2079 sampai 2086. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa resiko akan semakin buruk walaupun pengukuran substansial mengenai dampak dari perubahan iklim telah dilakukan.  Adanya tindak lanjut untuk mengurangi resiko atau pembatasan jumlah peserta ibadah haji mungkin perlu dilakukan.

Waktu pelaksanaan ibadah haji selalu berubah-ubah dari tahun ketahun, kata Eltahir, karena ritual keagamaan ini dilakukan berdasarkan kalendar bulan (hijriah), bukan kalendar matahari (masehi). Perbedaan waktu pelaksaaannya sekitar 11 hari kedepan dari tahun sebelumnya, jadi dalam rentang tahun-tahun tertentu, akan dilaksanakan pada masa terpanas di musim panas. Pada saat itu, kondisi cuaca bisa sangat membahayakan jemaah haji, kata Eltahir. Dia menambahkan,“Pada masa musim panas di Saudi Arabia, kondisi lingkungan disana akan sangat sulit untuk melakukan kegiatan diudara terbuka.”

Dan tanda-tanda akan resiko tersebut telah terlihat. Walaupun detil dari kejadiannya sangat sedikit tercatat, pernah ada kejadian dimana jemaah terinjak-injak hingga memakan banyak korban dalam beberapa tahun belakangan: pada tahun 1990, memakan korban 1,462 jiwa, dan pada tahun 2015, dimana korban yang jatuh, 765 meninggal dunia, dan 934 orang terluka. Eltahir berkata bahwa kedua peristiwa tersebut terjadi pada saat puncak temperatur dan kelembaban di area tersebut, berdasarkan pengukuran temperatur dengan thermometer bola basah (wet bulb), dan dengan kondisi tersebut, diperkirakan tingkat stress dikarenakan temperatur yang meningkat turut berkontribusi atas kejadian yang mematikan tersebut.

“Pada kerumunan banyak orang di suatu lokasi,” kata Eltahir, semakin keras kondisi cuaca di tempat tersebut, maka kemungkinan akan terjadinya insiden di kerumunan tersebut akan semakin besar.

Pengukuran dengan thermometer bola basah (disingkat dengan:TW), yang dilakukan dengan melekatkan selembar kain basah pada bola thermometer, adalah indikator langsung tentang bagaimana keringat bisa secara efektif mendinginkan tubuh. Semakin tinggi tingkat kelembaban, semakin rendah temperatur absolut yang bisa memicu masalah kesehatan. Dan ketika suhu “bola basah” telah mencapai 39oC, maka tubuh tidak akan mampu mendinginkan dirinya, dan temperatur tersebut diklasifikasikan dengan “berbahaya” oleh U.S National Weather Service. Suhu TW diatas 51oC diklasifikasikan sebagai “sangat berbahaya”, dimana bisa memicu stroke, yang akan merusak otak, jantung, ginjal dan otot, setelah terpapar dalam waktu yang lama.

Simulasi iklim yang dibuat oleh Eltahir dan rekan-rekan, baik dengan menggunakan skenario “kondisi seperti biasa” dan kondisi setelah dilakukan tindakan pencegahan menghadapi perubahan iklim, terlihat bahwa kemungkinan perubahan ambang batas dalam jangka waktu yang panjang akan terus meningkat sepanjang abad ini, walaupun telah dilakukan tindak pencegahan, dan dampaknya akan semakin buruk bila tidak dilakukan tindak apapun.

Karena proses penguapan melalui keringat sangat penting untuk menjaga temperatur tubuh yang pada tingkat yang aman, tingkat kelembaban adalah kuncinya. Walaupun suhu hanya mencapai 32oC, tetapi jika tingkat kelembaban meningkat hingga 95 persen, maka batas atas temperatur TW 51oC akan tercapai, dan diklasifikasikan dengan “sangat berbahaya”. Pada tingkat kelembaban 45 persen, ambang batas atas temperature TW tidak akan tercapai walaupun suhu mencapai 40oC. (Pada tingkat kelembaban terendah, temperatur bola basah akan sama dengan temperatur sebenarnya).

Perubahan iklim secara signifikan meningkatkan jumlah hari dalam setiap musim panas dimana temperatur bola basah di suatu area akan meningkat hingga mencapai limit “sangat berbahaya”. Walaupun telah dilakukan pengukuran mitigasi di tempat tersebut, kata Eltahir, “Dan dampaknya akan buruk. Akan selalu ada masalah, tetapi tidak lebih buruk jika tidak dilakukan pengukuran tersebut.

Pelaksanaan haji adalah suatu ritual yang sangat kuat bagi umat muslim, kata Eltahir, jadi persiapan untuk menghadapi potensi terjadinya kondisi yang tidak aman bagi kesehatan jamaah sangat penting untuk diperhatikan oleh para petugas pelayanan Jemaah haji di Saudi Arabia. Berbagai macam bentuk perlindungan bagi jamaah telah ditempatkan di area tersebut dalam beberapa tahun belakangan ini, termasuk juga nozzle yang menyemprotkan percikan air di beberapa area terbuka untuk menyejukkan tubuh jamaah, dan diperluasnya beberapa area untuk mencegah terjadinya kerumunan. Dan untuk menghadapi tahun-tahun yang paling beresiko nanti, Eltahir mengatakan, mungkin pembatasan jumlah jamaah haji perlu dilakukan. Dalam riset terbaru ini diharapkan bisa membantu memberi masukan dalam menyusun kebijakan bagi pelaksanaan haji di masa datang, termasuk juga kebijakan mitigasi perubahan iklim dan juga berbagai rencana dalam rangka beradaptasi pada perubahan iklim,” kata Elfatih.