BAGIKAN
Photo by Eric Ward on Unsplash

Selama ini depresi dikaitkan dengan peningkatan peradangan menurut kepercayaan masyarakat. Kini penelitian inovatif yang dilakukan oleh psikolog Eiko Fried telah membantah anggapan populer ini. Dia menunjukkan bahwa gejala tertentu dari depresi seperti permasalahan tidur dapat menjelaskan keterkaitannya. Dipublikasikan di jurnal Psychological Medicine. 

Selama beberapa dekade terakhir, ada banyak penelitian mengenai hubungan antara depresi dan peradangan dalam tubuh. Sejumlah penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang terserang depresi cenderung memiliki tingkat peradangan yang lebih tinggi dalam darah mereka dan kesimpulannya adalah bahwa peradangan bisa menjadi penanda potensial untuk mendiagnosis depresi. Secara tradisional, peradangan berhubungan dengan flu atau penyakit serius seperti penyakit kardiovaskular.




Fried dan rekan-rekannya telah menemukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara depresi dengan peradangan. Depresi adalah gangguan yang sangat heterogen dengan berbagai gejala, dan tidak seperti kebanyakan penelitian sebelumnya, Fried memasukkan 28 gejala depresi yang berbeda dan sejumlah faktor gaya hidup yang penting.

“Beberapa gejala tertentu dari depresi tampaknya terkait dengan peningkatan peradangan, seperti permasalahan tidur,” kata Fried.

Selain itu, obesitas dan pilihan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok tampaknya juga terkait dengan peningkatan peradangan. Dengan kata lain, depresi hanya terkait dengan peradangan pada partisipan yang menunjukkan fitur yang sangat spesifik, dan tidak secara umum. Selain itu, seperti yang diketahui dalam literatur, peradangan lebih sering terjadi pada wanita.




Penelitian ini menggaris bawahi pentingnya mengendalikan kovariat, faktor yang dapat memengaruhi hasil. Untuk penelitian ini, Fried menggunakan database Studi Belanda tentang Depresi dan Kecemasan, dengan data lebih dari 2.300 orang, di sepanjang seluruh rangkaian depresi (dari yang sehat hingga yang sangat tertekan). Dia mampu menentukan hubungan antara gejala individu dan peradangan dengan bantuan analisis jaringan. Ini melibatkan model statistik besar dan kompleks yang baru saja diperkenalkan dalam psikologi.



Temuan ini penting dalam diskusi saat ini, kata Fried. “Ada hype tentang menemukan biomarker, jejak gangguan yang dapat diukur dalam tubuh manusia, seperti darah. Selama 30 tahun terakhir, para ilmuwan telah mencari biomarker untuk depresi dengan harapan menjawab pertanyaan: bisakah Anda juga mengukur depresi dengan menguji darah seseorang, misalnya? Alih-alih melakukan wawancara diagnostik yang luas, psikiater kemudian dapat menguji darah seseorang. Sejauh ini belum ada biomarker yang bermanfaat secara klinis, dan salah satu harapan yang tersisa — peradangan — sebagian besar juga telah dibantah.”