Sekelompok artefak berupa pola yang terukir di berbagai media yang berusia mulai dari 540.000 hingga 30.000 tahun dianalisis terkait dengan aktivitas otak manusia, untuk mengetahui apakah pola-pola ukiran tak berbentuk tersebut adalah hasil dari perilaku yang tidak bertujuan, keinginan sederhana untuk meniru alam atau memang memiliki makna tertentu.
Sebuah studi yang dilakukan oleh multidisiplin dua tim peneliti dari Bordeaux memperkuat hipotesis bahwa leluhur kita mengaitkan makna dengan pola abstrak mereka, bahkan mungkin simbolis. Hasil studi mereka telah diterbitkan di Royal Society Open Science.
Untuk tujuan ini, para peneliti memetakan wilayah otak yang terlibat dalam persepsi terhadap setiap ukiran abstrak. Hasilnya menunjukkan bahwa penelusuran terhadap berbagai pola abstrak ini diproses oleh wilayah otak yang sama dalam mengenali berbagai objek, serta mengaktifkan wilayah belahan otak sebelah kiri yang terkenal dalam pemrosesan bahasa tertulis.
Mungkinkah pola ukiran yang usianya setengah juta tahun bisa dianggap sebagai karya seni? – bahkan sebelum manusia melakukan revolusi kognitif. Jika benar, maka itu mewakili contoh tertua dari aktivitas manusia yang esensial ini, dan informasi yang penting tentang bagaimana manusia berevolusi.
Memang tidak ada konsensus tentang kapan, bagaimana dan di antara fosil nenek moyang kita yang mana perilaku bermediasi simbolis pertama kali muncul.
Bagi sebagian orang, revolusi kognitif muncul secara tiba-tiba sejak kedatangan populasi modern di Eropa 42.000 tahun yang lalu. Bagi yang lain, penemuan ornamen pribadi, pigmen, dan ukiran abstrak di berbagai situs di Afrika yang berusia lebih dari 100.000 tahun menandakan bahwa praktik simbolik muncul lebih awal dan akan menjadi konsekuensi dari asal usul spesies manusia. Bagi yang lain, Neanderthal dan apa yang disebut populasi kuno juga memiliki perilaku simbolik, yaitu untuk mengkomunikasikan berbagai makna yang berbeda dari kemungkinan rujukan ikonik mereka.
Profesor Francesco d’Errico dari University of Bordeaux menemukan cara untuk menguji studinya. Dengan mempelajari pola otak orang-orang ketika mereka pertama kali melihat gambar ukiran, d’Errico menilai apakah tanggapannya mirip dengan yang kita miliki pada foto atau gambar, atau versi acak dari gambar yang kurang memiliki makna (tidak beraturan).
Perbandingan gambar asli dari ukiran kuno dan berbagai kontrol, dan versi acak. Dengan mengurangi perbedaan antara yang asli dan yang setara, para peneliti dapat melihat apakah manusia menanggapi item tersebut sebagai memiliki makna atau hanya garis tak beraturan.[Credit : Mellet et al / Royal Society Open Science]
Sistem visual manusia diatur secara hierarkis, dengan apa yang disebut area primer yang menganalisis berbagai elemen yang membentuk gambar (kontras, warna, orientasi) dan area sekunder yang memungkinkan untuk membedakan berbagai kategori visual. Memang, beberapa area otak lebih terspesialisasi dalam menganalisis lanskap, yang lain dalam analisis objek atau tulisan.
Area otak yang diaktifkan oleh ukiran prasejarah dibandingkan dengan yang diaktifkan oleh objek, kata-kata, pemandangan, dan alfabet kuno. Hasil: persepsi ukiran Paleolitikum mengaktifkan zona otak yang sama dengan objek, sementara itu tidak mempengaruhi aktivitas zona yang terkait dengan persepsi lanskap atau alfabet kuno.[Credit: University of Bordeaux]
Ini menegaskan bahwa ukiran abstrak tertua memiliki sifat visual yang mirip dengan objek yang memiliki makna yang dapat dikaitkan. Selain itu, ukiran tersebut mengaktifkan area otak yang di lateralisasi (kecenderungan seseorang untuk memakai bagian otak tertentu dalam melakukan aktivitas) di belahan otak kiri, yang dikenal karena keterlibatannya dalam pemrosesan bahasa tertulis, yang memperkuat gagasan bahwa ukiran ini berpotensi untuk berfungsi sebagai sarana komunikasi bagi manusia pertama.