BAGIKAN
[Credit: Alice Gray]

Sebagian besar organisme mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan harian di lingkungan. Selama abad ke-18, astronom Jean Jacques d’Ortous de Mairan mempelajari tanaman mimosa, dan menemukan bahwa dedaunan terbuka yang mengarah pada matahari di siang hari dan tertutup pada sore hari. Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika tanaman itu ditempatkan dalam kegelapan yang konstan. Dia menemukan bahwa terlepas dari sinar matahari, daun tetap mengikuti osilasi normal sehari-harinya. Tanaman tampaknya memiliki jam biologisnya sendiri.

Peneliti lain menemukan bahwa tidak hanya tanaman, tapi juga hewan dan manusia, memiliki jam biologis yang membantu mempersiapkan fisiologi kita untuk fluktuasi saat ini. Adaptasi reguler ini disebut sebagai ritme sikardian, yang berasal dari kata-kata Latin yang berarti “sekitar” dan inisialisasi “hari”. Contoh lainnya adalah kapan waktunya kita untuk beristirahat dengan indikasi mengantuk, atau perlu asupan energi dengan rasa lapar yang ditimbulkan. Tapi bagaimana jam biologis sirkadian internal kita bekerja, tetap menjadi misteri.

Cumi-cumi, gurita, amfibi, dan bunglon adalah beberapa di antara hewan yang dapat mengubah warna kulit mereka dalam sekejap mata. Mereka memiliki fotoreseptor yang terdapat di kulitnya yang beroperasi secara independen dari otak. Fotoreseptor adalah bagian dari keluarga protein yang dikenal sebagai opsin.

Mamalia juga memiliki opsin. Protein yang paling banyak terdapat di retina. Fotopigmen pengindera cahaya ini bertanggung jawab untuk penglihatan warna (kerucut opsin) dan penglihatan dalam cahaya redup (rhodopsin). Sementara studi sebelumnya menunjukkan bahwa mamalia mungkin mengekspresikan protein opsin di luar mata, ada sedikit informasi tentang fungsi apa yang mungkin mereka pengaruhi.

Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Current Biology kini telah menemukan bahwa sejenis opsin yang dikenal sebagai neuropsin diekspresikan dalam folikel rambut tikus dan menyinkronkan jam sirkadian kulit terhadap siklus terang-gelap, secara independen dari mata atau otak.

“Ini adalah demonstrasi fungsional pertama dari fotoreseptor opsin di luar mata yang secara langsung mengendalikan ritme sirkadian dalam mamalia,” kata rekan pemimpin penulis Ethan Buhr, asisten profesor riset oftalmologi di Fakultas Kedokteran Universitas Washington (UW).

Buhr mengatakan diasumsikan bahwa ketika mamalia berevolusi, otak mengambil alih untuk menginformasikan kepada semua organ tubuh, apakah waktu yang sedang berlangsung : siang atau malam. Tetapi, katanya, penelitian ini menemukan bahwa kulit benar-benar mengekspresikan fotoreseptornya sendiri dengan menggunakan anggota keluarga opsin yang sebelumnya dianggap misterius, neuroposin.

Ini berarti bahwa kulit dapat merasakan apakah sedang siang atau malam, bahkan ketika itu dibiakkan secara tunggal dalam cawan di laboratorium.

“Jika Anda mensimulasikan mengambil kulit yang dikultur dari Seattle menuju Jepang (dengan mensimulasikan perubahan cahaya di seluruh zona waktu), kulit mengetahui bahwa zona waktu telah berubah dan beradaptasi dengan zona waktu baru dalam beberapa hari berkat neuropsin,” kata rekan penulis Russ Van Gelder, profesor dan ketua oftalmologi di Fakultas Kedokteran UW.

Implikasinya terhadap obat-obatan masih diselidiki. Penelitian dari laboratorium lain menunjukkan bahwa fisiologi yang paling utama pada kulit berada di bawah kendali jam sirkadian. Sebagai contoh, pekerjaan oleh kelompok Penerima Nobel Aziz Sancar di University of North Carolina telah menunjukkan bahwa sinar ultraviolet yang diberikan pada pagi hari memiliki efek lima kali lipat lebih tinggi dalam memulai kanker kulit pada tikus, dibandingkan dengan cahaya yang sama yang diberikan pada sore hari, karena perubahan sirkadian pada kemampuan kulit untuk memperbaiki kerusakan DNA.

Para peneliti sekarang ingin mengetahui apakah jenis cahaya tertentu dapat membantu menyembuhkan penyakit pada kulit.

“Meskipun penelitian kami masih berlangsung, kami berhipotesis bahwa warna-warna cahaya tertentu pada waktu-waktu tertentu akan mempengaruhi bagaimana kulit disembuhkan,” kata peneliti bersama Richard Lang dengan Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Potensi untuk menggunakan ritme sirkadian untuk meningkatkan praktik medis adalah bidang studi yang berkembang.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa waktu pemberian obat pada jam-jam tertentu di siang atau malam hari dapat memiliki pengaruh besar pada efektivitas obat. Kemungkinan pengamatan yang sama berlaku untuk mediasi kulit.

Dalam penelitian ini, tim peneliti menggunakan tikus tanpa fotoreseptor retina dan gen melanopsin yang tidak berfungsi. Biasanya, fotoreseptor retina bergabung dengan melanopsin untuk menginformasikan jam sirkadian otak apakah itu terang atau gelap. Tikus eksperimental dengan demikian tidak dapat menyinkronkan perilaku mereka ke siklus terang-gelap.

Namun,  dari kulit hewan ini tetap disinkronkan dengan siklus terang-gelap tempat sekitar. Beberapa tikus terbangun di waktu fajar, sebagian yang lain di waktu senja. Tikus biasanya berlari hanya pada malam hari, tetapi beberapa lainnya mulai berjalan di atas roda mereka sebelum gelap. Bagaimanapun, kulit bisa menggunakan neuropsin untuk merasakan siklus terang-gelap dan menunjukkan waktu dengan tepat.