BAGIKAN
[Credit: Daniel Basualto]

Hubungan pendek dari abu vulkanik yang bermuatan listrik di atmosfer Bumi pada tahun 1815, menyebabkan cuaca buruk global dan kekalahan Napoleon, menurut sebuah penelitian baru.

Para sejarawan tahu bahwa kondisi hujan dan berlumpur membantu tentara Sekutu mengalahkan Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte di Pertempuran Waterloo. Peristiwa pada Juni 1815 telah mengubah jalannya sejarah Eropa.

Dua bulan sebelumnya, gunung berapi bernama Gunung Tambora meletus di pulau Sumbawa, Indonesia, menewaskan 100.000 orang dan menenggelamkan Bumi menjadi ‘tahun tanpa musim panas’ pada tahun 1816.

Sekarang, Dr Matthew Genge dari Imperial College London telah menemukan bahwa abu vulkanik yang mengandung listrik dari letusan Gunung Tambora dapat membuat ‘hubungan pendek’ arus listrik di ionosfer – lapisan atas atmosfer yang menyebabkan pembentukan awan.

Temuan yang dipublikasikan di Geology, bisa mengkonfirmasi kaitan yang memperkirakan antara letusan Gunung Tambora dan kekalahan Napoleon.

Dr Genge, dari Departemen Ilmu Bumi dan Teknik Kekaisaran, menunjukkan bahwa letusan Tambora menyebabkan hubungan arus pendek ionosfer, yang akhirnya mengarah pada terjadinya pembentukan awan, lalu mengakibatkan hujan lebat di seluruh Eropa yang akhirnya menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte.

Makalah ini menunjukkan bahwa letusan gunung berapi dapat menghempaskan abu ke atmosfer jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya – hingga 100 kilometer di atas permukaan tanah.

Dr Genge mengatakan: “Sebelumnya, ahli geologi mengira abu vulkanik terperangkap di atmosfer yang lebih rendah, karena  plume-vulkanik [campuran partikel dan gas yang dipancarkan oleh letusan] mengudara dengan ringan. Penelitian saya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa abu dapat ditembak menuju lapisan atmosfer yang lebih atas, oleh kekuatan listrik.”

Serangkaian percobaan menunjukkan bahwa kekuatan elektrostatik dapat menaikkan abu jauh lebih tinggi lagi daripada dengan daya apungnya sendiri. Dr Genge menciptakan sebuah model untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanik yang bermuatan listrik bisa naik, dan menemukan bahwa partikel yang lebih kecil dari 0,2 juta meter dalam diameter bisa mencapai ionosfer pada saat erupsi besar.

Dia mengatakan: “Plume dan abu vulkanik keduanya dapat memiliki muatan listrik negatif dan dengan demikian plume mengusir abu, mendorongnya tinggi di atmosfer. Efeknya sangat mirip seperti dua magnet yang didorong lalu menjauh satu sama lain jika kutub keduanya sama.”

[Credit: Imperial College London]
Hasil eksperimen konsisten dengan catatan sejarah dari letusan lainnya.

Namun, catatan cuaca sangat jarang untuk tahun 1815, jadi untuk menguji teorinya, Dr Genge memeriksa catatan cuaca setelah letusan di tahun 1883, gunung berapi di Indonesia yang lainnya, Krakatau.

Data menunjukkan suhu rata-rata yang lebih rendah dan berkurangnya curah hujan tak lama setelah letusan dimulai, dan curah hujan global lebih rendah selama letusan daripada periode sebelum atau sesudahnya.

Dia juga menemukan laporan gangguan ionosfer setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991, di Filipina, yang mungkin disebabkan oleh abu bermuatan listrik di ionosfer dari plume-vulkanik

Selain itu, tipe awan khusus muncul lebih sering daripada biasanya setelah letusan Krakatau. Awan noctilucent [malam yang bersinar] adalah awan yang luar biasa dan bercahaya, dan terbentuk di ionosfer. Dr Genge mengemukakan bahwa awan ini memberikan bukti untuk levitasi debu elektrostatik dari letusan gunung berapi besar.

Awan noctilucent, umumnya terlihat di wilayah kutub. (Photo: Anna Anikina/Shutterstock)

Dr Genge mengatakan: “Vigo Hugo dalam novel Les Miserables berkata tentang Pertempuran Waterloo: ‘langit yang tak terlihat di musimnya sudah cukup untuk membawa runtuhnya Dunia.’ Sekarang kita selangkah lebih dekat untuk memahami peran Tambora dalam Pertempuran dari setengah dunia.”