BAGIKAN
[Wikimedia]

Pada awal kemunculannya di bumi ini, spesies manusia bukanlah spesies yang jinak, ramah dan berkepribadian seperti sekarang ini. Ada kemungkinan bahwa nenek moyang kita, manusia purba adalah spesies yang liar dan ganas, dan seiring dengan berjalannya waktu dan setelah melalui berbagai proses seleksi alam yang begitu teramat panjang, manusia mulai merubah dirinya menjadi spesies yang mampu saling bekerja sama dengan manusia lainnya membentuk komunitas yang saling menguntungkan, untuk kemudian membentuk sebuah peradaban.

Teori ini dikenal dengan hipotesis domestikasi mandiri, dan pemikiran ini telah ada sejak buku yang ditulis oleh Darwin tentang domestikasi yang telah dipublikasikan pada tahun 1868. Selain itu, telah banyak ditemukan berbagai macam petunjuk yang mengarah pada kebenaran teori ini, dan kini, para ilmuwan mengklaim telah memiliki bukti eksperimental dari teori tersebut.

Semua ini disebabkan oleh gen yang mengontrol perkembangan wajah manusia. Tetapi untuk bisa lebih memahami mengapa hal tersebut berhubungan, kita harus lebih dahulu memahami proses domestikasi dari hewan.




Selain tumbuhan – yang kemudian berkembang menjadi peradaban agraris, manusia juga telah mendomestikasi beberapa jenis hewan, secara selektif mengembangbiakkannya untuk membantu manusia dalam bekerja dan kehidupan sehari-hari – sebagai contoh: anjing, kucing dan ternak sapi. Dan jika anda memperhatikan dengan seksama, hewan-hewan ini tidak hanya memiliki sifat yang berbeda dengan spesies mereka di alam liar, yaitu lebih jinak, tetapi wajah mereka juga terlihat berbeda.

Perubahan-perubahan pada penampilan hewan-hewan tersebut tersebut meliputi moncong yang lebih pendek, gigi yang lebih kecil, ekor yang ikal, bentuk telinga yang terkulai dan perkembangan yang lambat secara fisiologi.

Perubahan-perubahan psikologi ini secara kolektif dikenal dengan “sindrom domestikasi” dan kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sejumlah gen pada sekelompok sel yang disebut krista neuralis selama proses perkembangan embrionik.

Sel-sel ini bertanggung jawab terhadap perkembangan bentuk wajah. Dan perubahan-perubahan ini hanya terlihat pada hewan-hewan yang telah didomestikasi, dan ada kemungkinan bahwa gen ini juga menyebabkan adanya perubahan kepribadian yang memengaruhi proses domestikasi.

Dan hal ini menjadi semakin menarik ketika kita melakukan perbandingan yang sama antara tengkorak manusia modern dengan tengkorak dari spesies manusia purba, seperti Neanderthal. Terlihat adanya perubahan yang sama, tengkorak kepala manusia modern lebih kecil, penampilan wajah lebih fresh, dengan alis yang tidak terlihat menonjol.

[Credit: Dr Mike Baxter/Wikipedia Commons]

Dalam sebuah laporan di tahun 2017, sebuah tim peneliti mengajukan teori tentang kemungkinan terdapat mekanisme genetik yang sama pada krista neuralis (puncak saraf) dalam proses perkembangan manusia. Dan berdasarkan teori ini, sebuah tim ilmuwan yang dipimpin oleh ahli biologi Giuseppe Testa dari the European Institute of Oncology di Italia melakukan investigasi.




Dengan menggunakan teknik in vitro, para peneliti berfokus pada gen yang memegang peranan penting dalam gangguan perkembangan yang dikenal dengan nama sindrom Williams -Beuren. Para penderita sindrom ini memiliki wajah seperti anak-anak dan cenderung untuk memiliki kepribadian yang ramah, cerewet, mudah percaya pada siapapun, dan sama sekali tidak agresif.

Penderita Sindrom Williams-Beuren tidak memiliki satu buah gen yang dikenal dengan gen BAZ1b, dimana manusia normal memiliki dua buah.

Kemudian, para peneliti melakukan uji coba untuk melihat apa yang akan terjadi ketika gen BAZ1B dirubah.

Mereka menanam sebelas kultur dari sel punca puncak saraf, empat berasal dari penderita sindrom Williams-Beuren; dan empat dari orang-orang yang memiliki fenotipe gen yang berlawanan, dengan gen yang terduplikasikan dimana pada penderita sindrom William-Beuren mungkin terhapus sehingga penderita sindrom duplikasi ini memiliki perilaku yang berlawanan, seperti autisme selektif, anti sosial dan perilaku agresif secara fisik; dan tiga lainnya dari orang-orang yang tidak termasuk dalam kedua kelompok di atas.

Kemudian para peneliti merubah aktivitas gen BAZ1B pada setiap kultur dan menemukan bahwa hal tersebut mempengaruhi ratusan gen yang berhubungan dengan perkembangan tulang tengkorak dan bentuk wajah. Gen BAZ1b yang aktivitasnya diperlambat menghasilkan bentuk wajah yang mirip dengan penderita sindrom William-Beuren.

Dan terdapat konsistensi antara perubahan bentuk wajah dengan perilaku yang ramah.

Kemudian, mereka melakukan perbandingan dengan genome yang berasal dari spesies manusia purba, antara lain Neanderthal dan Denisovan untuk mencari perbedaan pada gen-gen yang diatur oleh BAZ1B. Dan mereka menemukan pada gen manusia modern terdapat mutasi gen dalam jumlah yang signifikan yang tidak terlihat pada spesies hominid purba.

“Kami menyimpulkan bahwa jaringan genetik BAZ1B menjadi penyebab mengapa wajah manusia modern tampak berbeda ketika dibandingkan dengan spesies manusia purba yang telah punah, Neanderthal,” kata Cedric Boeckx, ahli bio linguistik dari Catalan Institute for Advanced Studies di Spanyol.



Hasil yang didapatkan ini masih belum dianggap suatu pembuktian yang pasti bahwa manusia modern melakukan domestikasi secara mandiri, dan tidak juga terlihat seberapa besar peranan dari BAZ1B, jika memang gen ini yang menjadi penyebabnya. Jika memang sistem genetik terlibat dalam proses domestikasi mandiri manusia modern, pastinya ada lebih dari satu jenis gen yang terlibat. Tetapi pencapaian ini bisa dijadikan landasan baru untuk melakukan penelitian lanjutan.

“Riset ini merupakan yang pertama dengan menggunakan teknologi empirik yang canggih untuk memahami bagaimana manusia modern berevolusi sejak terputus hubungan dengan manusia Neanderthal,” kata Boeckx.

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di Science Advances.