BAGIKAN

Meskipun memiliki potensi yang menjanjikan dalam melawan virus, kombinasi obat-obatan yang selama ini digunakan untuk HIV ternyata tidak efektif ketika digunakan untuk mengobati COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2.

Wabah virus corona baru yang dimulai sejak Desember 2019 dan kini telah menyebabkan pandemi global, menyerang saluran pernapasan manusia. Gejala yang timbul akibat infeksi virus ini bervariasi mulai dari gejala ringan hingga pneumonia parah, kegagalan organ ganda dan bahkan kematian. Hingga tanggal 19 Maret ini, telah lebih dari 209.000 kasus terkonfirmasi di seluruh dunia dan 8.700 kematian, menurut laporan yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). Hanya dalam tiga bulan sejak kasus pertama di Wuhan, telah terkonfirmasi 100.000 kasus dan hanya dalam 12 hari, bertambah 100.000 kasus lagi.

“Sayangnya, hasil trial klinis tidak seperti yang diharapkan,” para peneliti menuliskannya dalam sebuah editorial tambahan dari laporan penelitian mereka. Hingga kini, belum ada bentuk pengobatan spesifik ditemukan untuk menyembuhkan infeksi coronavirus baru ini.



Untuk menentukan apakah lopinavir-ritonavir, kombinasi obat yang selama ini digunakan untuk mengobati infeksi HIV, bisa digunakan untuk mengobati COVID-19, para peneliti secara random melakukan terapi kombinasi kedua jenis obat tersebut pada 99 dari 199 pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dan terkonfirmasi terinfeksi virus corona baru dan menunjukkan gejala kesulitan bernafas. Lopinavir-ritonavir bekerja dengan meningkatkan jumlah virus HIV di tubuh manusia sehingga sistem pertahanan tubuh semakin baik dalam melawan penyakit ini. Pasien-pasien tersebut diterapkan dalam dua dosis (400 mg dan 100 mg), dua kali sehari selama 14 hari sebagai tambahan dari terapi standar yang ada. Perkembangan kesehatan para pasien tersebut kemudian dibandingkan dengan 100 pasien lainnya yang tidak diberikan obat tersebut.

Secara keseluruhan, ternyata tidak ditemukan adanya perubahan signifikan dari para pasien yang menerima kombinasi obat tersebut dibandingkan dengan mereka yang tidak menerimanya. Dan secara rata-rata, kedua kelompok pasien membutuhkan 16 hari perawatan medis untuk sembuh, walaupun pada kelompok pasien mereka yang menerima obat tersebut menunjukkan kemajuan satu hari lebih dari yang tidak.

Jumlah kasus global COVID-19 seperti yang dilaporkan oleh WHO dalam coronavirus disease 2019 (COVID-19) situation reportexternal icon. (CDC)

“Pada pasien pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan gejala COVID-19 parah, tidak terlihat ada kemajuan berarti ketika diberikan lopinavir-ritonavir di samping perawatan standar,” demikian para peneliti menuliskan dalam artikel penelitian mereka di New England Journal of medicine. “Kami menemukan bahwa terapi lopinavir-ritonavir tidak memberikan kemajuan klinis yang signifikan pada pasien, juga pada mengurangi kemampuan deteksi viral RNA virus pada tenggorokan pasien-pasien dengan gejala COVID-19 yang serius.”

Tetapi, terjadi penurunan angka kematian dari pasien di kelompok penerima lopinavir-ritonavir. Sayangnya, sulit untuk bisa mengambil kesimpulan dari data tersebut, mengingat penelitian ini dilakukan dalam skala kecil.

“Sebagai catatan, angka kematian secara keseluruhan dari trial ini secara substansial meningkat dari 11 persen menjadi 14,5 persen dalam deskripsi penelitian dari pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian ini dilakukan pada populasi yang menderita infeksi parah.” Demikian para peneliti menuliskan.



Para peneliti menambahkan bahwa jumlah pasien yang menerima lopinavir-ritonavir dengan komplikasi serius, seperti adanya infeksi sekunder atau memerlukan alat bantu pernafasan karena kegagalan nafas, lebih sedikit jumlahnya dari mereka yang tidak menerima terapi obat tersebut. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk menentukan apakah obat ini harus diberikan pada tahapan tertentu untuk mengurangi komplikasi pada COVID-19. Dan kelemahan lainnya dari penelitian ini adalah tidak dilakukannya trial double blind. Artinya, ada kemungkinan dengan diketahuinya siapa saja yang menerima obat tersebut, mempengaruhi pengambilan keputusan klinis pada trial ini.

Mengapa lopinavir -ritonavir tidak efektif? Mungkin disebabkan oleh kondisi pada saat penelitian ini dilakukan. Sebagai contoh, tim medis menargetkan pasien-pasien yang telah mengalami infeksi parah, beberapa malah telah mengalami kerusakan jaringan. Para peneliti mengambil kesimpulan, jika dilakukan trial lanjutan di masa datang pada pasien yang mengalami gejala parah mungkin akan membantu mengkonfirmasi atau meniadakan kemungkinan adanya manfaat yang timbul dari trial klinis obat-obatan ini.