BAGIKAN
(Cristian Newman/Unsplash)
(Cristian Newman/Unsplash)

Apatis adalah kurangnya minat, emosi, atau motivasi terhadap segala hal. Tapi ini dapat menjadi penanda awal dari demensia, menurut sebuah penelitian terbaru. Gejala tersebut menunjukkan sikap apatis pada berbagai hal yang tanpa disadari bisa menunjukkan adanya suatu permasalahan pada otak. Sikap apatis bisa dimulai beberapa dekade sebelum gejala lainnya, dan menjadi suatu pertanda kemunculan masalah lain yang akan datang.

Demensia bukanlah penyakit tunggal dan ada banyak jenisnya. Alzheimer adalah penyebab paling umum dari demensia. Pada intinya disebabkan oleh perubahan atau kerusakan pada otak yang tidak normal. Seiring bertambahnya usia, secara alami jumlah sel saraf setiap orang berkurang. Namun, bagi penderita demensia, penurunan jumlah sel sarafnya jauh lebih signifikan. Perubahan ini memicu penurunan kemampuan berpikir, yang dikenal juga sebagai kemampuan kognitif. Memengaruhi berbagai perilaku, perasaan, dan hubungan.

Salah satu jenis dari demensia adalah demensia frontotemporal  yang sering terdiagnosis pada usia 45 hingga 65 tahun. Ciri umumnya adalah sikap apatis, berupa hilangnya motivasi, inisiatif, dan minat pada berbagai hal. Ini bukanlah depresi, ataupun suatu kemalasan, tapi bisa disalahartikan sebagai keduanya.

Studi pemindaian otak telah menunjukkan bahwa pada orang dengan demensia frontotemporal hal itu disebabkan oleh penyusutan di area tertentu pada bagian depan otak. Semakin parah penyusutannya, semakin buruk sikap apatisnya.

“Apatis adalah salah satu gejala paling umum pada pasien dengan demensia frontotemporal. Ini terkait dengan penurunan fungsional, penurunan kualitas hidup, hilangnya kemandirian, dan kelangsungan hidup yang lebih buruk,” kata Maura Malpetti, seorang ilmuwan kognitif di Departemen Ilmu Saraf Klinis, Universitas Cambridge.

Faktor genetika 

Demensia frontotemporal bisa bersifat genetik. Sekitar sepertiga pasien memiliki riwayat keluarga dengan kondisi tersebut. Penemuan baru tentang pentingnya sikap apatis awal berasal dari Genetic Frontotemporal dementia Initiative (GENFI), sebuah kolaborasi antara ilmuwan di seluruh Eropa dan Kanada. Lebih dari 1.000 orang ikut serta dalam GENFI, dari keluarga yang memiliki penyebab genetik demensia Frontotemporal.

Penelitian ini melibatkan 600 orang sehat dengan latar belakang genetika berbeda. Terdiri dari 304 orang yang memilki gen rusak penyebab demensia frontotemporal, dan 296 orang lainnya yang memiliki gen normal. Para peserta dipantau selama beberapa tahun. Kemudian diamati perubahan pada sikap apatis, memori dan pemindaian MRI pada otak mereka.

“Dengan mempelajari orang-orang dari waktu ke waktu, daripada hanya mengambil snapshot, kami mengungkapkan bagaimana perubahan halus pada sikap apatis bahkan memprediksi perubahan kognisi, tetapi tidak sebaliknya,” jelas Malpetti, penulis utama penelitian. “Kami juga menemukan penyusutan otak lokal di area yang mendukung motivasi dan inisiatif, bertahun-tahun sebelum gejala yang diperkirakan muncul.”

Orang-orang yang genetikanya bermutasi, semakin menunjukkan sikap apatis daripada yang lainnya. Di mana selama dua tahun telah terjadi peningkatan signifikan daripada orang-orang yang genetikanya normal. Apatis memprediksi penurunan kognitif, dan ini dipercepat ketika mereka mendekati perkiraan usia timbulnya berbagai gejala lainnya.

Sikap apatis memprediksi demensia

“Dari penelitian lain, kita tahu bahwa pada penderita demensia frontotemporal, apatis merupakan pertanda buruk dalam hal hidup mandiri dan bertahan hidup. Di sini kami menunjukkan pentingnya dalam beberapa dekade sebelum gejala dimulai,” kata penulis senior James Rowe dari University of Cambridge.

“Apatis berkembang jauh lebih cepat bagi seseorang yang kita tahu memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan demensia frontotemporal. Dan ini terkait dengan atrofi yang lebih besar di otak. Pada awalnya, meskipun peserta dengan mutasi genetik merasa sehat dan tidak memiliki gejala, mereka menunjukkan tingkat sikap apatis yang lebih tinggi. Jumlah sikap apatis memprediksi masalah kognitif di tahun-tahun mendatang,” kata Rogier Kievit dari Donders Institute, Radboud University Medical Center di Nijmegen dan MRC Cognition and Brain Sciences Unit di University of Cambridge.

Profesor Rowe mengatakan penelitian tersebut menyoroti pentingnya menyelidiki mengapa seseorang memiliki sikap apatis. “Ada banyak alasan mengapa seseorang merasa apatis. Mungkin mudah untuk mengobati kondisi medis, seperti rendahnya kadar hormon tiroid, atau penyakit kejiwaan seperti depresi. Tetapi dokter perlu mengingat kemungkinan sikap apatis yang menyebabkan demensia, dan meningkatkan kemungkinan demensia jika tidak ditangani, terutama jika seseorang memiliki riwayat keluarga dengan demensia.

“Mengobati demensia adalah sebuah tantangan, tetapi semakin cepat kita dapat mendiagnosis penyakit tersebut, semakin besar kesempatan kita untuk mencoba dan campur tangan, serta memperlambat atau menghentikan perkembangannya.”

Penelitian ini telah diterbitkan di Alzheimer’s & Dementia: The Journal of Alzheimer’s Association.