Manusia telah memakan manusia lainnya sejak lama, tetapi motivasi di balik praktik mengerikan ini sangat kompleks dan sering tidak jelas. Namun kanibalisme tetap mendapatkan ruangnya di tempat yang teramat gelap. Beberapa antropolog mengatakan kanibal prasejarah hanya mencoba mendapatkan camilan bergizi, tetapi penelitian baru menunjukkan bahwa daging manusia tidak mengemas kalori yang sama seperti hewan liar. Dengan kata lain, kanibalisme tidak sebanding dengan kesulitan yang diberikan sebagai alternatif.
Potongan tulang Neanderthal
Jauh di dalam gua-gua Goyet di Belgia, para peneliti telah menemukan bukti mengerikan bahwa Neanderthal telah melakukan praktik kanibalisme. Tulang manusia dari bayi yang baru lahir, anak-anak dan empat orang dewasa atau remaja yang hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu menunjukkan tanda-tanda pemotongan yang jelas dan patah tulang untuk mengekstraksi sumsum di dalam, kata mereka.
Kasus-kasus kanibalisme Neandertal telah ditemukan sampai sekarang hanya pada populasi Neanderthal di Eropa selatan di Spanyol, di El Sidron dan Zafarraya, dan di Prancis, di Moula-Guercy dan Les Pradelles.
Sebuah tim internasional yang dipimpin oleh Helene Rougier, seorang antropolog di California State University Northridge di Amerika Serikat, telah membuktikan dari tulang yang ditemukan di Goyet bahwa Neanderthal di sana adalah kanibal. Tulang-tulang menunjukkan jejak pemotongan, “untuk memisahkan dan mengeluarkan daging,” kata Christian Casseyas, yang juga memimpin tur untuk umum di gua. Neanderthal “mematahkan tulang-tulang ini dengan cara yang sama seperti mereka mematahkan tulang rusa dan kuda yang ditemukan di pintu masuk gua, tentu untuk mengekstrak sumsum”, tambahnya.
Rougier, yang karyanya di gua Belgia diterbitkan oleh Scientific Reports, mengatakan kepada AFP bahwa “memang, kita dapat menyimpulkan bahwa beberapa Neanderthal mati dan dimakan di sini”, yang merupakan yang pertama di Eropa Utara. “Beberapa tulang ini juga telah digunakan untuk membuat alat-alat untuk mengasah ujung-ujung batu api untuk mempertajamnya kembali,” kata Rougier. Tapi alasan kanibalisme tetap menjadi misteri, seperti sejauh mana Neanderthal memakan kerabat mati mereka.
Jumlah kalori tubuh manusia
Sebuah studi yang diterbitkan di Scientific Reports adalah yang pertama yang memberikan perincian kalori tubuh manusia — dari ujung ke ujung dan semua bagian yang nikmat di antaranya — untuk menilai motivasi kanibal prasejarah. Satu-satunya penulis studi, arkeolog James Cole dari Universitas Brighton, menggunakan data ini untuk membandingkan nilai kalori manusia dengan hewan lain yang hidup di sekitar selama masa prasejarah ini. Secara umum, ia menemukan bahwa tubuh manusia memiliki nilai gizi yang sama — dalam hal lemak dan protein — dengan makhluk berukuran sama, tetapi jika dibandingkan dengan mangsa yang lebih besar, seperti mammoth dan badak wol, manusia menawarkan kalori yang jauh lebih sedikit. Studi ini menunjukkan bahwa setiap interpretasi kanibalisme selama Era Paleolitik harus mempertimbangkan pertimbangan lain, seperti praktik budaya, sosial, dan agama.
Dari hasil analisa yang telah dilakukan Cole setidaknya menunjukkan bahwa total massa otot pria dewasa 66 kg terdiri dari sekitar 32.376 kalori. Kandungan yang cukup untuk membuat bertahan sekitar dua orang selama seminggu. Beberapa bagian tubuh yang lebih bergizi termasuk hati (2.569 kalori), paha (13.354 kalori), dan massa kolektif adiposa atau jaringan lemak (50.000 kalori). Gigi adalah makanan ringan, dengan 36 kalori per 1,44 ons.
Kanibalisme di era Neolitik
Para arkeolog telah menemukan bukti kanibalisme massal di situs pemakaman manusia berusia 7.000 tahun di Jerman barat daya berdasarkan laporan dari jurnal Antiquity. Para penulis mengatakan temuan mereka memberikan bukti langka kanibalisme di periode Neolitik awal Eropa. Terdapat 500 sisa-sisa manusia yang ditemukan di dekat desa Herxheim mungkin telah mengalami kanibal. “Pemotongan sengaja” secara konstan termasuk di antaranya anak-anak dan bahkan bayi yang belum lahir, para peneliti mengatakan kepada BBC.
Situs Jerman pertama kali digali pada tahun 1996 dan kemudian dieksplorasi lagi antara tahun 2005 dan 2008. Pemimpin tim Bruno Boulestin, dari Universitas Bordeaux di Perancis, mengatakan kepada BBC bahwa dia dan rekan-rekannya telah menemukan bukti tulang manusia yang dengan sengaja telah dimutilasi – indikasi kanibalisme.
Dr Boulestin menekankan sulit untuk membuktikan bahwa tulang-tulang ini telah sengaja untuk dimasak sebagai hidangan. Beberapa ilmuwan telah menolak teori kanibalisme, menunjukkan bahwa pengangkatan daging bisa menjadi bagian dari ritual pemakaman. Namun Dr Boulestin mengatakan bahwa sisa-sisa manusia telah “sengaja dimutilasi” dan bahwa ada bukti banyak dari mereka telah dikunyah. Neolitik awal adalah periode ketika pertanian pertama kali menyebar di Eropa Tengah dan tim percaya bahwa kanibalisme di Eropa cenderung luar biasa – mungkin dilakukan selama periode kelaparan.
Kanibalisme di Eropa
Selama beberapa abad, masyarakat di Inggris cukup populer melakukan praktik kanibalisme yang justru didasari oleh pengobatan sehingga dapat membantu menyembuhkan beberapa penyakit. Pengobatan kanibalisme menjadi bagian dari pengobatan utama. Seorang dokter asal Inggris di abad ke-18, Robert James, dalam bukunya : Pharmacopoeia Universalis, menyebutkan bahwa daging ‘mumi’ dapat mengobati pembekuan darah, batuk, masalah menstruasi, dan mempercepat penyembuhan luka.
Kanibalisme yang diterima masyarakat menyebabkan industri ini menjadi tersiar, karena para eksportir menjarah makam-makam di Mesir yang dimulai pada abad ke-11 untuk dijual ke seluruh Eropa. Karena pasokan sisa-sisa yang dimumikan menjadi langka pada tahun 1600-an, para dokter mencari spesimen yang baru saja mati. Mayat pria dan wanita yang dianggap “kuat” memiliki permintaan yang lebih tinggi, karena daging mereka yang “kuat” akan mengobati daging yang sakit dan lemah dari yang hidup. Dengan mencelupkan mayat-mayat ke dalam campuran madu dan rempah-rempah, para dokter saat itu menciptakan daging manusia sebagai tambahan untuk konsumsi medis.
Di Eropa abad ke-16 dan ke-17, resep untuk obat-obatan seperti ini, yang memberikan petunjuk tentang cara memproses tubuh manusia, hampir sama umumnya dengan penggunaan jamu, akar dan kulit kayu. Sejarawan medis Richard Sugg dari Universitas Durham Inggris, mengatakan bahwa bagian tubuh dan darah adalah ongkos standar, yang siap tersedia di setiap apotek.
Bahkan, ada banyak sumber yang menggambarkan praktik morbid dari para penyembuh awal Eropa. Orang-orang Romawi meminum darah segar para gladiator sebagai obat melawan epilepsi. Tetapi baru pada masa Renaisans, penggunaan bagian tubuh yang kadaluwarsa dalam pengobatan menjadi lebih umum. Pada awalnya, sejenis bubuk yang terbuat dari mumi Mesir yang diparut dijual sebagai “ramuan kehidupan,” kata Sugg. Pada awal abad ke-17, penyembuh mengalihkan perhatian mereka ke sisa-sisa orang-orang yang telah dieksekusi atau bahkan mayat para pengemis dan penderita lepra.
Raja Inggris Charles II bahkan sanggup membayar 6.000 poundsterling untuk sebuah resep yang menyuling tengkorak manusia. Sarjana dan bangsawan, serta orang-orang biasa, bersumpah dengan kekuatan penyembuhan kematian. “Ini tentang vitalitas intrinsik dari organisme manusia,” kata sejarawan itu di Spiegel. Asumsinya adalah semua organisme memiliki rentang hidup yang telah ditentukan. Jika tubuh mati dengan cara yang tidak alami, sisa kehidupan orang itu bisa dipanen, karena itu maka memiliki preferensi untuk dieksekusi.
Kanibalisme di Suku Fore dan penyakit “Kuru”
Alih-alih membawa kesehatan, tubuh manusia dan bagiannya malah bisa berakibat fatal seperti yang terjadi pada anak-anak dan perempuan masyarakat Suku Fore di Papua New Guinea yang tinggal di pegunungan. Mereka menyebut kondisi misterius yang diderita tersebut sebagai penyakit “kuru“. Setiap tahun, kuru telah membunuh hingga 200 orang dari suku tersebut, terkadang dalam keadaan yang mengejutkan. Dimulai dengan gejala tubuh yang gemetar dan gangguan kemampuan untuk bekerja, penderita secara perlahan mengalami kehilangan total dari fungsi tubuh, depresi, dan seringkali ketidakstabilan emosional, terkadang menunjukkan dirinya dengan tawa histeris. Penyakit ini disebabkan oleh ‘prion’ yang pada dasarnya adalah protein normal yang telah menjadi salah lipatan dan beralih ke “sisi gelap”. Agen infeksius ini kehilangan fungsinya dan memperoleh kemampuan untuk mengubah protein normal lainnya menjadi prion juga, sehingga menjadi menular.
Meski tradisi kanibalisme sekarang sudah lama ditinggalkan di Suku Fore, namun meninggalkan jejak secara genom pada keturunannya yang kini hidup. Sebuah studi yang diterbitkan di Nature pada tahun 2015 menemukan bahwa orang-orang Suku Fore yang secara teratur mengkonsumsi otak manusia telah mengembangkan ketahanan terhadap penyakit yang distimulasi prion seperti penyakit otak degeneratif, penyakit sapi gila, penyakit Creutzfeldt-Jakob, dan beberapa kasus demensia.
“Tubuh itu dimakan karena cinta dan juga apresiasi gastronomi,” tulis seorang peneliti medis Australia bernama Michael Alpers dalam salah satu teks akademisnya tentang Suku Fore, yang memperkuat dugaan bahwa praktik kanibalisme di Suku Fore bukan karena faktor kekurangan bahan makanan, terlebih praktik kanibalisme tersebut dilakukan pada kerabat dekat mereka yang meninggal berdasarkan eskatologis yang cukup rumit yang mereka percayai.