BAGIKAN
pemindaian otak
Bret Kavanaugh/Unsplash

Kabut otak adalah salah satu dari gejala COVID-19 yang ditandai dengan kebingungan, sakit kepala, delirium, kejang dan kehilangan ingatan jangka pendek. Penyakit neurologis ini dikenal juga sebagai COVID otak, yang merupakan istilah medis dari ensefalopati. Biasanya muncul beberapa minggu setelah setelah seseorang terjangkit COVID-19.

Para peneliti dari Memorial Sloan Kettering Cancer Center (MSK) di New York, telah melaporkan bahwa penyebab COVID otak dikarenakan adanya molekul inflamasi dalam cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Hasil temuan ini telah diterbitkan di jurnal Cancer Cell.

“Kami awalnya didekati oleh kolega kami dalam pengobatan perawatan kritis yang telah mengamati delirium parah pada banyak pasien yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19,” kata Jessica Wilcox ahli neuro-onkologi dari MSK.

“Pertemuan itu berubah menjadi kolaborasi yang luar biasa antara neurologi, perawatan kritis, mikrobiologi, dan neuroradiologi untuk mempelajari apa yang sedang terjadi dan untuk melihat bagaimana kami dapat membantu pasien kami dengan lebih baik.”

Para peneliti awalnya menduga bahwa virus corona berdampak pada kabut otak. 18 pasien penderita COVID-19 diberikan pemeriksaan neurologi secara menyeluruh untuk menemukan penyebab kabut otaknya. Namun pemindaian otak yang telah dilakukan tersebut, tidak menjelaskan kondisi mereka. Dan, para peneliti menduga jawabannya terletak pada cairan serebrospinal.

Para peneliti selanjutnya menyaring cairan serebrospinal dari 18 pasien tersebut, yang mengalami kerusakan fungsi saraf setelah terinfeksi virus SARS-CoV-2. Cairan serebrospinal ini berfungsi untuk melindungi otak. Sehingga, jika terdapat gangguan pada cairan ini, bisa menyebabkan gangguan pada fungsi otak juga. Namun, analisis mikrobiologis dari cairan yang diambil dari keran tulang belakang tersebut, tidak mengungkapkan adanya tanda-tanda virus.

“Kami menemukan bahwa pasien ini mengalami peradangan yang terus-menerus dan tingkat sitokin yang tinggi dalam cairan serebrospinal mereka, yang menjelaskan gejala yang mereka alami,” kata Jan Remsik dari MSK dan salah satu penulis penelitian.

Dalam kasus COVID-19 yang parah, sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap virus dan melakukan serangan pada sel yang telah terkontaminasi. Ini dikenal sebagai badai sitokin, di mana bahan kimia yang disebut sitokin dilepaskan oleh sel-sel sistem kekebalan tubuh, menyebabkan peradangan yang berlebihan dan berpotensi kematian.

Fenomena serupa yang menunjukkan tingkat sitokin inflamasi yang tinggi kadang-kadang dipandang sebagai efek samping dari terapi sel T reseptor antibodi chimeric (CAR). Suatu pengobatan imunoterapi yang juga dapat menyebabkan kebingungan, delirium, dan efek neurologis lainnya yang mirip dengan kabut otak COVID.

Ketika terapi sel CAR T diberikan, itu menyebabkan sel-sel kekebalan melepaskan molekul yang disebut sitokin. Tapi sitokin bisa meresap ke area sekitar otak dan menyebabkan peradangan.

Meskipun diperlukan lebih banyak lagi penelitian, para peneliti menunjukkan bahwa penggunaan obat anti-inflamasi, seperti steroid, mungkin dapat digunakan untuk mengatasi kondisi seperti ini.

“Kami dulu berpikir bahwa sistem saraf adalah organ dengan kekebalan istimewa, yang berarti bahwa ia sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan sistem kekebalan,” ahli neuro-onkologi MSK Adrienne Boire menjelaskan. “Tapi semakin kita mengetahuinya, semakin kita menemukan hubungan antara keduanya.”