BAGIKAN
Tikus gunung berapi Pinatubo yang ditemukan kembali, dianggap punah (Credit: Danny Balete, Field Museum)
Tikus gunung berapi Pinatubo yang ditemukan kembali, dianggap punah (Credit: Danny Balete, Field Museum)

Salah satu ledakan gunung berapi terdahsyat di abad ke-20, adalah Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991. Namun sesuatu telah mengejutkan, ketika masih ditemukan spesies tikus yang telah lama dikhawatirkan telah punah.

Letusan Gunung Pinatubo sangat memilukan. Setelah letusan, angin topan yang kuat dan hujan monsun memicu tanah longsor dan aliran abu yang berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan sebagian orang telah merujuk pada pendinginan global yang disebabkan oleh gas yang dipancarkannya. Untuk mendinginkan Bumi. 

“Ketika Pinatubo meledak, mungkin hal terakhir yang ada dalam pikiran siapa pun adalah bahwa spesies tikus kecil yang satu-satunya diperkirakan hanya hidup di gunung itu. Dan, mungkin saja telah punah sebagai akibatnya.” kata Larry Heaney, Kurator Mamalia Negaunee di Chicago’s Field Museum dan salah satu penulis dari makalah.

“Apa yang kami pelajari kemudian benar-benar membuat kami terpesona.”

Setelah dua dekade peristiwa ledakan, para peneliti Museum Lapangan Danilo (Danny) Balete kembali menelusuri Pinatubo untuk mempelajari fauna mamalia nya. Mereka mengamati mamalia yang berada di sekitar Gunung Pinatubo, di mana sebelumnya telah porak poranda akibat letusan. Motivasi khusus untuk survei Pinatubo adalah untuk menemukan nasib Apomys sacobianus, tikus gunung berapi Pinatubo.

Meskipun tidak ada survey terhadap mamalia sebelum letusan, namun Museum Nasional Sejarah Alam AS dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Dari berbagai koleksi spesimennya, para peneliti mendapatkan beberapa catatan dari ketinggian yang lebih rendah di sekitar gunung.

Sebuah spesimen dari seekor hewan pengerat kecil menjadi sesuatu yang menarik. Spesies baru ini telah dijelaskan pada tahun 1962 sebagai Apomys sacobianus, tikus dari gunung berapi Pinatubo, Heaney menjelaskan.

Selama survei lapangan, tim peneliti masih menemukan sisa-sisa letusan. Di mana abu dan lahar yang telah menyelimuti, memperlambat proses suksesi tanaman. Vegetasinya adalah campuran tanaman asli dan non-asli yang jarang. Rerumputan, bambu, semak belukar, tanaman merambat, dan sedikit pohon. Semuanya merupakan karakteristik dari tahap awal pertumbuhan habitat kedua kalinya. Sangat berbeda jauh dari hutan tropis yang sudah tua, yang pernah menutupi gunung sebelum letusan terjadi.

Pengamatan terhadap hutan tua di Luzon, di antaranya mengungkapkan keberadaan spesies tikus yang bukan asli berasal dari tempat itu. Tetapi di habitat pertumbuhan kedua yang sangat terganggu, terutama di daerah dekat lahan pertanian, tikus non-pribumi malahan paling melimpah. Dan hanya ada beberapa spesies asli yang sering ditemukan.

“Kami pikir penelitian di Pinatubo akan mengkonfirmasi pola umum ini, jadi kami memperkirakan hanya melihat sedikit jika terdapat spesies asli,” kata Rickart.

“Setelah letusan Pinatubo, kami mencari tikus ini di puncak lain di Pegunungan Zambales tetapi gagal menemukannya,” catat Heaney, “menunjukkan distribusi geografis yang sangat terbatas untuk spesies tersebut. Kami pikir gunung berapi itu mungkin satu-satunya tempat tikus ini hidup.” Dan berdasarkan ekspektasi dari pulau-pulau lain, pada saat itu tampaknya mungkin saja spesies tersebut telah lenyap akibat letusan.

Namun, survei Pinatubo menghasilkan beberapa hasil yang sangat mengejutkan. Di mana telah mendokumentasikan total 17 spesies. Termasuk di antaranya 8 kelelawar, 7 hewan pengerat, dan 2 mamalia besar (babi hutan dan rusa).

Bertentangan dengan perkiraan, tikus non-pribumi sama sekali tidak umum dan terbatas pada area dekat lahan pertanian Aeta di mana hama pertanian seperti itu seringkali paling melimpah. Terlepas dari kenyataan bahwa semua area yang disurvei mendukung vegetasi pertumbuhan kedua yang jarang dan semak belukar daripada hutan, hewan pengerat asli melimpah di mana-mana.

Dan yang paling mengejutkan adalah ketika tikus gunung berapi Apomys sacobianus adalah spesies yang paling banyak melimpah. Spesies ini tumbuh subur di bentang alam yang sangat rusak bersama spesies asli lainnya yang juga memiliki toleransi tinggi terhadap kerusakan.

“Untuk beberapa waktu, kami tahu bahwa banyak mamalia kecil di Filipina dapat mentolerir kerusakan habitat, baik alami maupun yang disebabkan oleh manusia,” kata Rickart, “tetapi kebanyakan dari mereka tersebar secara geografis, spesies yang bukan endemik lokal biasanya dipandang oleh para ahli biologi konservasi sebagai spesies yang sangat rentan.”

Peneltian ini telah dipublikasikan di Philippine Journal of Science.