BAGIKAN
Koloni bakteri E. Coli (Credit: CDC/Janice Haney Carr)

Perilaku bunuh diri pada hewan di alam bebas di antaranya dipicu untuk mempertahankan koloni seperti yang terjadi pada rayap, namun inipun sebatas mengorbankan diri berdasarkan peluang kehidupan. Persis seperti perilaku bakteri E. Coli yang sudah sekarat lalu menyerap antibiotik sehingga memungkinkan bakteri lainnya untuk tumbuh dan bertahan hidup.

Sebuah studi dari para peneliti yang berasal dari Oxford University menunjukkan bahwa di antara bakteri yang saling bertikai, strategi serangan bunuh diri massal akan digunakan untuk mengalahkan pesaingnya.

Bakteri adalah organisme agresif yang telah mengembangkan sejumlah cara kejam untuk membunuh dan menghambat pesaingnya. Salah satu yang paling ekstrim dari strategi ini adalah walaupun berujung kematian, sel-selnya memecah diri secara aktif yang dapat melepaskan racun dalam jumlah besar dan membunuh bakteri lainnya. Meskipun telah diketahui bahwa beberapa bakteri melakukan hal serupa, namun seberapa sering tingkat perilakunya tidak diketahui dan biasanya diasumsikan bahwa hanya beberapa sel bakteri yang akan melakukan serangan bunuh diri ini.



Sebuah studi baru, yang diterbitkan di jurnal Current Biology, menunjukkan kasus ini lebih jauh: di beberapa wilayah medan pertempuran bakteri, hampir semua sel-nya akan bunuh diri untuk menghasilkan serangan simultan yang masif.

Secara umum sulit untuk dipahami mengapa perilaku bunih diri ini bisa dikembangkan. Studi yang dilakukan terhadap bakteri Escherichia coli ini, mengungkapkan bahwa jutaan bakteri secara simultan akan memanfaatkan perilaku bunuh diri secara massal.

Ilustrasi menunjukkan sel berwarna magenta melakukan bunuh diri dan melepaskan racun untuk membunuh pesaing dan menyelamatkan koloninya. Credit: Elisa Granato

Penemuan ini memiliki kemiripan yang mencolok dengan perilaku yang dapat dijumpai pada serangga sosial, seperti semut peledak dari Kalimantan, rayap, dan lebah, yang juga melancarkan serangan skala besar terhadap para penyusup di mana harus memakan banyak korban berjatuhan.

Rekan penulis, Elisa Granado dari Oxford University, mengatakan: “Jumlah bakteri yang mati dalam serangan ini sangat mengejutkan. Tetapi penelitian ini menjelaskan mengapa mereka melakukannya: sel-sel digunakan dalam perilaku bunuh diri ketika mereka pada akhirnya akan mati dikarenakan oleh racun dari pesaingnya. Perilaku ini merupakan serangan nafas terakhir dari sel-sel yang sedang sekarat, yang memungkinkannya untuk melakukan serangan balik secara dahsyat sebelum mereka sendiri akhirnya binasa.”



Para penulis mempelajari bagaimana persisnya kejadian di medan pertempuran bakteri, pada skala laboratorium. Mereka menemukan cara untuk membuat sel-sel berubah warna ketika perilaku bunuh diri digunakan. Ini memungkinkan para peneliti untuk melacak sel tunggal di garis depan pertempuran setiap saat semenjak terlibat dengan pesaingnya. Selain itu, mempermudah untuk mengetahui: kapan dan seberapa banyak sel yang melakukan serangan bunuh diri tersebut.

Para peneliti berharap bahwa dengan memahami berbagai kaidah dari pertempuran bakteri secara lebih umum dapat menggunakannya untuk merancang bakteri probiotik, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan mengobati berbagai infeksi.